
Prema duduk di sudut kecil ruang makan yang remang, hanya ditemani suara denting sendok bertemu piring. Perasaannya berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menekan dadanya. Setiap suapan makanan terasa hambar. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, mengingat bahwa keputusan yang ia buat tadi adalah hasil dari banyak pertimbangan. Namun, pikirannya terus berputar, menari-nari di antara harapan dan ketakutan.
Air matanya jatuh perlahan, tanpa suara. Ia cepat-cepat mengusap pipinya, takut jika pelayan di restoran itu memperhatikan. Namun, ketika tangis mulai menjadi deras, ia menyerah dan meletakkan sendoknya. Rasa sakit di hatinya terlalu dalam untuk diabaikan.
“Kenapa aku seperti ini? Bukankah aku sudah memutuskan?” gumamnya pada dirinya sendiri. Tapi jawabannya tak pernah datang. Seolah-olah dunia ini enggan memberikan kepastian, seperti lingkaran takdir yang kembali menghantuinya.
Setelah beberapa saat, Prema memutuskan untuk keluar dari restoran. Udara malam menyambutnya, dingin dan segar. Langkah kakinya membawanya tanpa arah, hingga ia tiba di taman kota. Di sana, suara gemericik air mancur seakan berbicara lembut padanya, menawarkan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh siapa pun.
Saat ia duduk di bangku taman, bayangan masa lalu kembali menyeruak. Keputusan yang ia buat hari ini tak lain adalah bagian dari sebuah siklus. Lingkaran yang terus ia jalani tanpa pernah benar-benar memahaminya. Keputusan tentang cinta, keluarga, dan pengorbanan – semua terasa terulang. Kali ini ia memilih jalan yang berbeda, tapi mengapa rasanya sama saja? Seperti ia hanya menukar satu beban dengan beban lain.
“Mengapa emosi ini belum usai? Mengapa seolah-olah sumber kehidupan dan semangat itu hanya pada dia? Mengapa aku ingin cepat-cepat mengusir rasa sedih ini?” pikirnya dengan getir.
Nitya. Nama itu kembali menyayat hatinya. Nitya bukan hanya sekadar bagian dari masa lalunya, Pria itu, yang dulu menjadi sosok inspirasi dalam hidupnya, ternyata tega menghancurkan kepercayaan yang begitu sulit ia bangun.
“Bagaimana bisa seseorang yang begitu penting bagiku menjadi sumber dari semua rasa sakit ini?” tanya Prema dalam hati. Perasaan pengkhianatan bercampur dengan penghinaan membuat hatinya terasa terkoyak.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat seorang pria tua dengan jubah panjang. Pria itu berdiri di dekat air mancur, memperhatikannya. Mata pria itu tajam, namun penuh kehangatan. Seolah-olah dia tahu persis apa yang Prema rasakan.
“Mengapa kau gelisah, anak muda?” tanyanya lembut.
Prema terkejut, namun entah mengapa ia merasa tidak takut. Ia merasa pria itu adalah seseorang yang bisa ia percayai. Dengan suara bergetar, ia mulai bercerita tentang semua yang terjadi – tentang keputusan yang ia buat, keraguan yang menggerogotinya, rasa bersalah yang tak kunjung hilang, dan luka mendalam akibat pengkhianatan Nitya.
Pria tua itu mendengarkan dengan seksama, tak sekali pun memotong pembicaraannya. Ketika Prema selesai, pria itu tersenyum tipis.
“Lingkaran takdir memang terasa tak berujung, seperti spiral yang terus memutar. Namun, tahukah kau? Setiap putaran itu sebenarnya membawa kita lebih dekat ke tengah. Pada akhirnya, hanya ada satu titik pusat yang harus kau temukan,” katanya.
Prema mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata pria itu.
“Titik pusat itu adalah dirimu sendiri, Prema. Kau terus mencari jawaban di luar, padahal jawaban itu ada di dalam. Kau takut pada keputusanmu karena kau belum sepenuhnya percaya pada hatimu. Ketika kau menerima dirimu, kau akan tahu bahwa apa pun yang terjadi, semuanya adalah bagian dari perjalananmu.”
Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam di hati Prema. Ia menyadari bahwa selama ini ia memang terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia selalu mencoba menyenangkan orang lain, mencoba membuat keputusan yang dirasa benar untuk semua orang, tapi lupa pada dirinya sendiri.
Pria tua itu menepuk bahunya dengan lembut. “Jangan takut dengan lingkaran takdir. Kadang kita harus berputar beberapa kali sebelum akhirnya mengerti maknanya.”
Sebelum Prema sempat bertanya lebih banyak, pria itu melangkah pergi, menghilang dalam kegelapan malam. Prema duduk di sana, merenungkan semuanya. Angin malam membawa rasa dingin yang perlahan menghangat di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan – sebuah cahaya kecil di ujung labirin yang ia jalani.
“Aku akan mencoba,” katanya pada dirinya sendiri. “Mencoba memahami diriku lebih baik.”
Dan malam itu, meskipun ia masih merasa berat, Prema tahu ia telah mengambil langkah pertama untuk keluar dari lingkaran takdirnya.
