Tujuh Jam Yang Terlewat

Prema

Senja menyusup dari celah jendela ruang kerja, mewarnai meja kayu tua yang dipenuhi buku dan kertas-kertas. Aku baru saja selesai menyusun materi untuk kelas esok hari. Di luar, suara lonceng kecil di kafe seberang terdengar samar, bercampur dengan kicauan burung yang bersiap pulang.

Entah mengapa, jari-jariku bergerak membuka email di mobile phone. Sudah lama aku tidak mengecek, hanya sesekali untuk kebutuhan pekerjaan. Tetapi sore itu, aku merasa ada sesuatu yang memanggilku. Dan di sanalah ia—nama yang sudah lama aku coba lupakan, terpampang di bagian atas kotak masukku: Nitya.

Aku terdiam. Judul email itu singkat, hanya “Rindu Ayang.” Aku melihat waktu pengirimannya—tepat tujuh jam yang lalu. Tujuh jam yang mungkin telah ia habiskan dalam sepi, menunggu balasan yang tak kunjung datang.

Aku mengklik email itu dengan ragu, seolah-olah membuka pintu ke ruangan penuh kenangan yang berusaha kuabaikan. Kata-katanya sederhana, tapi begitu menusuk.

“Aku rindu. Seminggu sudah aku mencoba menerima keputusanmu, tapi aku masih merasa sepi. Aku menangis hari ini, bukan karena membencimu, tetapi karena aku merasa hampa tanpamu. Aku menerima rasa sakit ini .”

Membacanya, aku tak bisa menahan air mata. Tanpa aba-aba, perasaan yang kusimpan rapi mendesak keluar. Aku tahu keputusan itu benar—untuk kebaikannya, untuk kebaikan kami berdua. Tapi mengetahui ia terluka karenanya tetap menyakitkan.

Aku menutup mobile phone dengan lembut, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Sore itu, aku memutuskan untuk tidak langsung membalasnya. Bukan karena aku tak peduli, tetapi karena aku ingin memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata yang mampu menyampaikan empati tanpa meruntuhkan keputusan yang telah diambil. Aku butuh waktu.


Pagi harinya, suara alarm membangunkanku dari tidur yang gelisah. Matahari baru saja menembus tirai kamar, membawa kehangatan yang tak sebanding dengan dinginnya perasaan di dadaku. Setelah menenangkan diri dengan secangkir madu hangat, aku kembali ke ruang kerja. Mobile phone masih di sana, seolah menantiku untuk melanjutkan apa yang tertunda.

Aku membuka kembali email Nitya, membaca kata-katanya sekali lagi. Rasa rindu yang ia tuliskan menggema dalam pikiranku, mengingatkanku pada semua hal yang pernah kami bagi. Tapi aku tahu, aku harus kuat. Aku harus membalasnya dengan kejujuran dan harapan, meski terasa berat.

Jari-jariku mulai menari di atas keyboard, merangkai balasan dengan hati-hati.


Subjek: Re: Rindu Ayang

Nitya,

Aku membaca emailmu, dan aku sangat tersentuh oleh apa yang kamu tulis. Aku bisa merasakan betapa beratnya ini untukmu, dan aku sangat menghargai keberanianmu untuk berbagi perasaan.

Aku ingin kamu tahu bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Keputusan ini tidaklah mudah untukku. Ada begitu banyak hal yang ingin kupertahankan, termasuk semua kenangan indah tentang kita. Tapi aku percaya, langkah ini adalah yang terbaik untuk kita berdua—agar kita bisa tumbuh dengan cara masing-masing.

Aku tahu rasa sepi itu menyakitkan, dan aku tak ingin meremehkan apa yang kamu rasakan. Aku hanya berharap, perlahan waktu akan membantu kita menerima dan memahami bahwa ini adalah bagian dari perjalanan kita.

Kamu selalu ada dalam doaku, Nitya. Aku harap kamu menemukan kekuatan dalam proses ini, sebagaimana aku juga berusaha menemukanmu selama ini. Meski kita kini berjalan di jalan yang berbeda, aku percaya bahwa kita tetap saling mendoakan dari jauh.

Terima kasih sudah berbagi perasaanmu. Aku benar-benar menghargainya.

Dengan segala kebaikan,
Prema


Setelah membaca ulang surat itu beberapa kali, aku akhirnya mengklik tombol “Kirim.” Rasanya seperti melepaskan beban yang selama ini kutahan. Aku tahu ini tidak akan menghapus kesedihan, tapi setidaknya, aku berharap ini bisa memberinya pengertian.

Pagi itu, aku kembali menatap jendela, melihat sinar matahari yang semakin terang. Meski rasa rindu masih menghuni, aku yakin ini adalah langkah yang benar. Untukku, untuknya, dan untuk perjalanan hidup kami masing-masing.

Pertanyaan kecil menyelinap di batinku, seolah olah aku kehilangan amunisi. mengapa aku tidak Bisa marah padanya? Mengapa aku justru “menguliti” diriku sendiri. Aku mencari kalimat-kalimat yang tepat menggambarkan bagaimana aku juga berkontribusi dalam perjalanan itu.

Mengapa setiap mengenang wajah manisnya aku selalu tersenyum bahagia. Apakah aku sudah mulai memasuki tahap mencintaimu setulus ini? Selalu Hanya doa yang keluar dari bibirku.

Inilah babak barunya…

Berjuang melawan rasa ingin tahu tentangnya. Di gempur oleh rasa rindu. Dinding-dinding seolah menjadi saksi betapa tersiksanya aku. Bertahun – tahun aku cari. Ku temukan lalu aku lepaskan. Drama ini sungguh memilukan.

Diterbitkan oleh Ni Made Adnyani

Aku suka Menulis, aktifitas Mengajar dan Yoga

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai