Ini adalah perjalanan hidupku. Kisah hidupku. Aku memohon kepada para pembaca untuk menggunakan slogan: We Listen, We Don’t judges .

Saat kecil, aku tumbuh dengan keyakinan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah sesuatu yang benar dan wajar. Aku mengira bahwa setiap kali seorang anak melakukan kesalahan—sekecil apa pun—hukuman fisik adalah konsekuensi yang harus diterima. Aku percaya bahwa pukulan, bentakan, dan ancaman adalah bagian dari didikan. Aku tidak tahu ada dunia di luar sana di mana kesalahan bisa diperbaiki tanpa rasa sakit.
Aku tumbuh dengan pemikiran bahwa kesalahan adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi. Aku harus selalu benar, sempurna, dan patuh. Karena jika tidak, tubuhku yang akan menanggung akibatnya.
Masa Kecil dalam Bayangan KDRT
Aku masih ingat betapa takutnya aku untuk membuat kesalahan. Aku pernah dipukul hingga lebam dan berdarah hanya karena hal-hal kecil—seperti lupa melakukan tugas atau bersikap ceroboh.
Suatu hari, aku menolak untuk mencuci pakaian. Ibuku marah besar. Tanpa peringatan, ia mengayunkan sebatang balok besar ke punggungku. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga meresap jauh ke dalam batinku. Aku merasa kecil, tidak berdaya, dan yang lebih buruk lagi—aku merasa pantas mendapatkannya.
Aku juga pernah mengalami kejadian yang jauh lebih mengerikan. Rambutku pernah ditarik dengan kasar, dan ibuku, dalam kemarahannya, hampir membakarku hidup-hidup. Aku hanya bisa melarikan diri, berusaha menyelamatkan diri dari sesuatu yang seharusnya tidak pernah dialami oleh seorang anak.
Aku tidak sendirian. Semua saudaraku mengalami hal yang sama. Kami tumbuh dalam lingkungan di mana kekerasan adalah bahasa kasih yang kami pahami. Karena itulah, aku menganggap semua ini sebagai sesuatu yang biasa. Aku tidak pernah mempertanyakan apakah ini salah atau benar—karena aku percaya, inilah cara dunia bekerja.
Titik Balik: Menyadari KDRT Bukanlah Hal yang Wajar
Saat aku tumbuh dewasa, perlahan aku mulai memahami bahwa KDRT bukan sekadar luka fisik. Pukulan dan bentakan mungkin berhenti seiring waktu, tetapi bekasnya tetap tertinggal jauh di dalam hati. Aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam diriku—rasa takut yang selalu mengintai, kecemasan yang tak beralasan, dan perasaan bahwa aku tidak boleh melakukan kesalahan, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun.
Luka batin itu terus menghantuiku, sampai akhirnya aku mulai mengalami sesuatu yang aneh. Setiap malam, tepat pukul 01.00 dini hari, aku terbangun dan menangis. Aku tidak tahu mengapa. Aku hanya tahu bahwa ada sesuatu di dalam diriku yang terasa begitu sakit, tetapi aku tidak bisa menjelaskannya. Tangisan itu berlangsung selama setahun penuh. Aku terbangun, menangis, lalu tidur lagi—dan siklus itu berulang setiap malam.
Ketika aku memutuskan untuk masuk ke kelas meditasi, aku berharap bisa menemukan ketenangan. Namun, tubuhku bereaksi dengan cara yang tidak aku duga. Di minggu-minggu pertama, aku jatuh sakit. Bukan hanya kelelahan biasa, tetapi sakit yang terasa begitu dalam—seolah tubuhku sedang melawan sesuatu yang telah lama terpendam. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi saat itu, aku sadar bahwa perjalanan menuju penyembuhan tidak akan mudah.
Proses Pemulihan: Menemukan Cara untuk Bangkit
Pemulihanku dimulai ketika aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Aku menyadari bahwa aku telah tumbuh menjadi seseorang yang keras—tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diriku sendiri. Aku ingin memahami mengapa aku begitu kaku, mengapa aku sering bereaksi dengan kemarahan, dan mengapa ada bagian dalam diriku yang terasa begitu tertutup dan terluka.
Aku mulai membaca banyak buku tentang trauma, kekerasan dalam rumah tangga, dan dampaknya terhadap pola pikir seseorang. Aku belajar bahwa luka dari masa lalu tidak hilang begitu saja. Jika tidak disadari dan diatasi, luka itu bisa berkembang menjadi rantai yang terus berulang. Aku takut menjadi bagian dari rantai itu. Aku takut tanpa sadar akan meneruskan kekerasan ini kepada anak-anakku kelak.
Kesadaran itu membuatku semakin serius dalam perjalanan batinku. Aku berlatih meditasi dengan lebih disiplin, mencoba menghadapi rasa sakit yang selama ini kuabaikan. Aku mulai hidup dengan sangat hati-hati—bukan karena takut, tetapi karena aku tidak ingin menjadi bagian dari siklus kekerasan yang dulu menghancurkan masa kecilku.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mudah. Ketika aku memiliki anak, aku mulai merasakan sesuatu yang lain: baby blues. Aku mulai menjauh dari anakku, bukan karena aku tidak mencintainya, tetapi karena ada ketakutan yang muncul. Aku takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku takut tidak bisa memberinya kasih sayang yang tulus karena aku sendiri tumbuh tanpa kasih sayang yang seharusnya.
Selain itu, aku menjadi semakin keras terhadap diriku sendiri. Aku menuntut diriku untuk selalu sempurna sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri, sebagai seorang manusia. Aku merasa harus mengendalikan segalanya agar tidak ada kesalahan. Aku takut bahwa jika aku gagal, semua yang telah kuperjuangkan akan sia-sia.
Menyadari Bahwa Aku dan Ibuku Sama-Sama Korban
Kesadaran baru datang perlahan, tetapi membawa perubahan besar dalam hidupku. Aku mulai melihat ibuku bukan sebagai pelaku, melainkan sebagai korban dari trauma yang tidak pernah sembuh.
Aku mengetahui bahwa ibuku menyaksikan sendiri bagaimana ayah dan kakak tertuanya dibunuh di depan matanya dalam tragedi G30S PKI. Ia tumbuh dalam ketakutan dan trauma yang tidak terselesaikan, lalu melahirkan kami dalam kondisi batin yang terluka. Tanpa disadarinya, trauma itu diwariskan kepada kami.
Menyadari itu, aku tidak lagi melihat ibuku sebagai seseorang yang kejam, tetapi sebagai seseorang yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk menyembuhkan lukanya sendiri.
Memilih untuk Berdamai: Menghentikan Siklus KDRT
Namun, di tengah semua ketakutan itu, aku menemukan harapan. Aku mulai memahami bahwa aku bukan orang tuaku. Aku bukan mereka yang dulu menyakitiku. Aku memiliki pilihan—aku bisa memilih untuk tidak mengulang apa yang telah kulalui.
Aku mulai belajar menerima diriku apa adanya. Aku mulai membiarkan diriku membuat kesalahan, belajar dari mereka, dan bangkit lagi. Aku mulai menyadari bahwa kekerasan tidak boleh menjadi solusi atas rasa frustrasi, kelelahan, atau ketidakpastian.
Kini, aku telah benar-benar terbebas dari KDRT. Aku hidup dalam hubungan yang sehat, di mana kekerasan tidak lagi menjadi bahasa dalam rumah tanggaku. Suamiku tidak pernah berkata kasar kepadaku, apalagi menyakitiku secara fisik. Dan yang lebih penting, aku belajar untuk tidak lagi menyakiti diriku sendiri.
Perjalanan ini masih berlanjut, tetapi aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang benar: memutus rantai kekerasan, dan memilih hidup dalam perjuangan meniti jalan ke dalam diri
