Nyala Api Semangat Belajar: Kisah di Malam Kamis

We Listen, We Don’t Judges

Menjelaskan tokoh tokoh

Kamis, 6 Februari 2025, adalah hari yang padat bagiku. Aku dijadwalkan mengajar kelas bahasa Sanskerta dengan materi Bhagavad Gita pada pukul 19.00 WITA. Namun, di jam yang sama, aku masih berada di Pura Buana Agung Bontang, mendampingi latihan Tari Gantar untuk persiapan piodalan.

Latihan tari berakhir pukul 19.39 WITA, jauh melewati jadwal kelas yang seharusnya sudah dimulai. Aku pun segera menghubungi murid-muridku, menanyakan apakah mereka masih ingin belajar malam itu atau tidak. Dalam hati, aku siap jika mereka memilih untuk menunda kelas—bagaimanapun, keterlambatan ini bukan hal yang ideal bagi proses belajar. Namun, jawaban mereka membuatku terenyuh.

“Siap belajar, Bu!”

Tanpa ragu, aku bergegas menuju mobil, menyalakan aplikasi Zoom dari ponsel, dan mulai mengajar.

Di kelas virtual malam itu, hanya dua murid yang hadir—satu dari Palangkaraya dan satu lagi dari NTB. Mungkin bagi sebagian orang, ini tampak seperti kelas kecil yang tidak berarti. Namun bagiku, mereka adalah bukti nyata bahwa ilmu selalu menemukan jalannya kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari.

Sebenarnya, sejak awal, kelas ini diikuti oleh belasan murid. Namun, satu per satu mereka menghilang, tidak lagi hadir dalam pertemuan-pertemuan berikutnya. Hanya dua orang ini yang tetap bertahan, yang tetap berkomitmen untuk belajar, meskipun mungkin teman-teman mereka sudah memilih jalan lain.

Karena mereka semangat, akupun ikut semangat. Aku mengajar dari dalam mobil, tanpa pencahayaan yang memadai, tetapi tetap berusaha memberikan yang terbaik. Aku menggunakan dua ponsel yang tersedia—satu untuk suara dan satu lagi untuk share screen.

Mungkin aku terdengar berlebihan, tapi aku tidak punya pilihan lain. Di luar, di wantilan, masih banyak orang yang ramai berkumpul. Mengajar di gedung itu bukanlah opsi yang memungkinkan. Maka, meski dalam keterbatasan, aku tetap melanjutkan kelas.

Aku bangga melihat mereka. Di tengah banyaknya anak yang lebih memilih meninggalkan pelajaran, mereka tetap bertahan. Mereka menyimak, berdiskusi, dan menyerap ilmu dengan penuh semangat. Bahkan, sesi yang seharusnya berakhir pukul 20.00 WITA akhirnya melampaui batas waktu—kami baru menyudahi kelas pada pukul 20.30 WITA.

Malam itu, aku kembali diingatkan bahwa jumlah bukanlah ukuran utama dalam mengajar. Yang lebih berharga adalah semangat dan dedikasi mereka yang tetap bertahan dalam proses belajar, meskipun banyak tantangan menghadang.

Api semangat belajar yang menyala dalam diri mereka adalah cahaya harapan bagi pendidikan. Dan selama nyala itu ada, aku akan terus mengajar.

Diterbitkan oleh Ni Made Adnyani

Aku suka Menulis, aktifitas Mengajar dan Yoga

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai