NM. Adnyani

Hidup semakin sunyi. Aku menyadarinya pelan-pelan, seperti embun yang mengendap di pagi buta—hadir tanpa suara, tapi meninggalkan jejak dingin di kulit. Dalam perjalanan sunyi ini, aku mengerti bahwa tak ada seorang pun yang bisa berjalan untukku. Mereka mungkin menemaniku sejenak, tapi langkah-langkah ini tetaplah milikku sendiri.
Lalu, apa yang sebenarnya kukejar selama ini? Pengalaman? Penantian? Perhatian? Atau sesuatu yang bahkan tak bisa kunamai?
Aku telah menatap kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik hiruk-pikuk pencarian. Kebenaran yang tak selalu nyaman, yang tak selalu menyembuhkan seketika. Dan meski mataku telah terbuka, hatiku masih murung.
Aku pernah merasakan derai air mata di dalam diri. Tapi mata fisikku tidak menangis.
Tangisan itu tidak berwujud, tapi aku bisa mendengarnya. Jeritan yang menggema tanpa suara, menggambarkan betapa proses memahami kesunyian ini terasa menyayat.
Apa itu ketabahan?
Apakah ini tanda bahwa aku sedang menjadi lebih kuat? Atau justru aku sedang belajar menerima kelemahan yang selama ini kusembunyikan?
Mungkin ini adalah proses bertapa.
Bertapa bukan berarti pergi ke tempat jauh dan meninggalkan dunia, tetapi menghadapi keheningan di dalam diri sendiri. Duduk bersama kesunyian, merasakan kesepiannya, lalu mendengarkan bisikannya.
Bisa jadi, kesunyian ini bukan hukuman, melainkan jalan. Jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang siapa aku sebenarnya. Jalan menuju kebebasan dari segala yang semula kupikir penting, tapi ternyata hanya bayangan.
Aku belum tahu kapan perjalanan ini akan selesai. Tapi untuk saat ini, aku akan diam sejenak, bernapas dalam-dalam, dan menerima sunyi sebagai bagian dari diriku.
