NM. Adnyani

Penafian: tulisan Ini terinspirasi dari Karya Tulis Bapak Arif Supriyadi yang berjudul ‘Kesaksian Bisu Kayu Batu’
Aku, yang kini hanya tersisa dalam ingatan segelintir orang, dahulu menjulang gagah sebagai penjaga batas antara daratan dan lautan. Orang-orang menyebutku Aruna Daksina—cahaya fajar di selatan. Namaku diberikan bukan tanpa alasan, sebab keberadaanku kala itu adalah penanda bagi para pelaut, simbol harapan bagi mereka yang pulang dari samudra, serta saksi bisu bagi kejayaan Bontang yang pernah begitu kaya akan kehidupan.
Dari puncakku yang menjulang, aku menyaksikan lautan yang dahulu begitu murah hati. Nelayan yang melaut di perairan Bontang pulang dengan kapal penuh muatan. Belat yang mereka pasang sering jebol, tak mampu menampung limpahan ikan yang berjejal masuk. Sungguh, kala itu lautan adalah ibu yang dermawan, memberi lebih dari yang diminta. Bahkan hanya dengan serok, nelayan bisa menangkap ikan dalam jumlah melimpah. Keberkahan ini bukan hanya milik para nelayan, tetapi juga terpahat dalam nama-nama tempat di sekitarku. Selambai, misalnya, berasal dari seorang nelayan Mandar bernama Si Lambai yang selalu menjaring ikan di teluk kecil itu. Nama yang sederhana, namun mengandung jejak sejarah yang dalam.
Namun, aku bukan hanya saksi bagi kemakmuran laut. Aku juga melihat bagaimana daratan Bontang menjadi etalase kekayaan yang tak kalah hebat. Di utara, aku melihat batang-batang kayu besar dihanyutkan ke lautan—kayu-kayu milik seorang tuan dari negeri seberang. Penduduk setempat pun menyebut tempat itu Loktuan, gabungan dari log dan tuan. Ke barat, hamparan pohon aren berdiri kokoh, getahnya harum semanis gula yang dihasilkan oleh tangan-tangan terampil warga Gunung Sari. Sedangkan ke selatan, tempat akarku menjejak tanah, berdirilah Kampung Kayu Batu, tempat para nelayan berteduh di bawah bayang-bayangku.
Musim berganti, peradaban berkembang, dan manusia mulai lupa pada harmoni yang pernah terjalin dengan alam. Para nelayan yang dahulu hanya menjaring dan memancing, kini mulai menggunakan Teknologi modern untuk menangkap ikan. Terumbu karang mulai tergerus, ekosistem laut terguncang, dan perlahan-lahan ikan-ikan menghilang. Tak lama berselang, daratan pun menghadapi nasib serupa. Hutan-hutan tempat aku dan sesamaku berdiri ditebang satu per satu. Kayu aren yang dahulu memberi kehidupan bagi Gunung Sari perlahan habis. Pohon-pohon besar di Loktuan tak lagi terlihat. Buah-buahan yang dahulu melimpah di Berbas, kini tak lagi jatuh berguguran, seperti kehilangan kemakmurannya.
Lalu tibalah hari yang tak pernah kuduga. Aku, Aruna Daksina, yang selama ini berdiri tegak sebagai simbol keagungan alam, akhirnya tumbang oleh tangan manusia. Kampak para penebang menghantam batangku yang kokoh. Aku tak mengira bahwa perlindungan yang selama ini kuberikan akan berakhir dengan pengkhianatan. Selama berabad-abad, mereka berteduh di bawah rantingku, menjadikanku penanda arah, bahkan menganggapku keramat. Namun kini, aku tak lebih dari seonggok kayu yang akan dilenyapkan. Sisa tubuhku dibakar, abu dan asapku mengepul ke langit, membawa serta kenangan tentang masa ketika Bontang adalah hamparan berkah.
Namun, meski ragaku telah tiada, namaku masih tersisa. Warga tetap mengenang tanah tempatku tumbuh sebagai Dusun Kayu Batu, sebuah penghormatan bagi keberadaanku. Sayangnya, penghormatan itu pun tak bertahan lama. Seorang petinggi dusun mengusulkan perubahan nama, berharap agar watak keras kepala yang ia yakini melekat pada warganya turut luruh bersama hilangnya nama lamaku. Dusun Kayu Batu pun dihapus, digantikan oleh nama baru: Pelabuhan.
Kini, hanya segelintir orang yang masih mengingatku. Aku, yang pernah menjadi mercusuar alami bagi para pelaut. Aku, yang pernah menjadi saksi bagi kemakmuran Bontang yang tiada tara. Namun, aku tidak menaruh dendam. Aku hanya ingin berpesan kepada mereka yang kini tinggal di tanah ini: Jagalah Bontang, bukan hanya karena kekayaan yang pernah ia miliki, tetapi karena tanah ini adalah bagian dari jiwa kalian. Jangan biarkan sejarahku hanya menjadi debu dalam ingatan, sebab tanpa ingatan, manusia akan kehilangan arah—seperti nelayan yang kehilangan bintang di langit malam.
