“Kakak/Kakanda, Sebuah Sapaan Penuh Makna dalam Hubungan”

NM. Adnyani

Perayaan Nyepi selalu menjadi momen istimewa bagi siapa pun yang ingin menemukan makna dalam keheningan. Dalam ketenangan tanpa suara, kita sering kali lebih memahami pentingnya setiap kata yang pernah kita ucapkan.

Di tengah suasana Nyepi, saya merenungkan bagaimana bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk hubungan. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana dalam Kakawin Ramayana, Dewi Sita memanggil Rama dengan sebutan “kakanda.” Sebutan ini tampaknya sederhana, tetapi jika kita melihat lebih dalam, ia menyimpan filosofi yang menarik tentang cinta, penghormatan, dan kehangatan dalam hubungan.

Panggilan yang Berbeda di India dan Nusantara

Dalam Ramayana versi India, baik yang ditulis oleh Maharṣi Vālmīki maupun dalam adaptasi daerah seperti Kamban Ramayana (Tamil) dan Ramcharitmanas (Hindi), Sita tidak pernah memanggil Rama dengan sebutan “kakak” atau “kakanda.” Sebaliknya, ia menggunakan sapaan seperti “Aryaputra” (आार्यपुत्र) yang berarti “putra seorang bangsawan” atau “yang mulia.”

Panggilan ini mencerminkan hubungan mereka yang penuh hormat tetapi tetap romantis dalam tradisi India. Sita tidak hanya melihat Rama sebagai suaminya tetapi juga sebagai seseorang yang memiliki kebajikan tinggi dan layak dihormati.

Namun, ketika Ramayana diadaptasi dalam sastra Jawa dan Bali, terjadi pergeseran dalam cara Sita menyapa Rama. Sebutan “kakanda” atau “kakak” lebih sering digunakan, menyesuaikan dengan norma sosial dan bahasa sastra yang berkembang di Nusantara.

Mengapa Sita Memanggil Rama “Kakanda” di Nusantara?

1. Pengaruh Struktur Sosial Jawa dan Bali

Dalam budaya Jawa dan Bali, pasangan sering menggunakan panggilan yang mencerminkan hubungan hierarkis tetapi tetap lembut. Seorang istri bisa memanggil suaminya dengan “kakanda” sebagai bentuk penghormatan, bukan hanya berdasarkan usia tetapi juga status sosial dalam rumah tangga.

2. Konsep Hierarki dalam Pasangan

Dalam ajaran Hindu di Nusantara, suami sering dipandang sebagai pemimpin rumah tangga (gṛhastha). Panggilan “kakanda” mencerminkan bahwa Sita melihat Rama sebagai pelindung dan pemimpinnya, mirip dengan bagaimana seorang adik menghormati kakaknya.

3. Gaya Bahasa dalam Kakawin

Kakawin merupakan puisi klasik yang menggunakan bahasa Kawi (Jawa Kuno) dengan pengaruh dari Sanskrit. Dalam sastra klasik, panggilan seperti “kakanda” memiliki nuansa kehalusan dan estetika sastra yang lebih romantis dan lembut.

4. Makna Simbolis dalam Hubungan Rama-Sita

Rama dan Sita adalah simbol ideal pasangan suami-istri dalam ajaran Hindu. Penggunaan panggilan “kakanda” menekankan bahwa hubungan mereka tidak hanya bersifat duniawi tetapi juga spiritual—di mana Sita menghormati Rama sebagai pelindung dan penuntunnya.

Menariknya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak pasangan di Nusantara juga menggunakan panggilan “kakak” dalam hubungan mereka. Panggilan seperti “mas” di Jawa, “abang” di Sumatra, atau “kakanda” dalam bahasa sastra, semuanya mencerminkan rasa hormat dalam hubungan yang sejajar tetapi tetap mengandung kehangatan.

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cara kita membentuk hubungan. Panggilan “kakak” membawa nuansa perlindungan, kedekatan, dan rasa hormat yang manis. Dalam hubungan rumah tangga, sapaan ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta sejati adalah tentang merawat dan saling menguatkan, bukan hanya tentang kepemilikan.

Kisah Sita dan Rama sering kali dilihat sebagai gambaran ideal hubungan yang penuh kepercayaan dan kesetiaan. Dalam versi Nusantara, panggilan “kakanda” yang digunakan Sita kepada Rama mencerminkan keyakinan bahwa suaminya adalah tempatnya bernaung, tanpa mengurangi kepribadian dan keberanian Sita sendiri.

Di dunia modern, mungkin kita tidak selalu menggunakan panggilan klasik seperti “kakanda,” tetapi esensi dari penghormatan dalam hubungan tetap sama. Sebutan-sebutan yang kita pilih untuk pasangan kita memiliki kekuatan untuk memperkuat kedekatan atau justru merenggangkannya.

Saat Nyepi, kita menjalankan Catur Brata Penyepian, di mana salah satu aspek penting adalah mona brata—berdiam diri atau mengurangi bicara. Dalam keheningan ini, kita disadarkan bahwa setiap kata yang kita ucapkan memiliki makna. Kata bisa menyembuhkan, bisa mempererat hubungan, tetapi juga bisa melukai.

Dalam hubungan, panggilan kecil yang kita ucapkan sehari-hari bisa menjadi doa yang menghangatkan. Dalam satu kata, kita bisa menyampaikan penghormatan, kasih sayang, dan kepercayaan.

Seperti halnya Sita yang dengan lembut memanggil Rama sebagai “kakanda,” kita pun bisa memilih kata-kata yang menjadikan hubungan kita lebih bermakna.

Karena pada akhirnya, cinta bukan hanya tentang merasa memiliki, tetapi tentang bagaimana kita saling menyapa—dengan kelembutan, penghormatan, dan kasih yang tulus.

Om Tat Sat

Diterbitkan oleh Ni Made Adnyani

Aku suka Menulis, aktifitas Mengajar dan Yoga

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai