NM. Adnyani

“Kita hidup dalam keberagaman yang nyata—berbeda cara berpikir, berbeda cara berpakaian, berbeda harapan. Tapi jauh di dalam hati, kita semua ingin hal yang sama: dihargai, dimengerti, dan dicintai.”
Beberapa waktu lalu, aku merenung setelah melihat tiga potret yang sangat berbeda: Seorang nenek dengan kebaya tradisional yang duduk tenang dalam acara budaya, Seorang gadis muda dari komunitas adat yang tersenyum penuh percaya diri, Dan seorang perempuan muda bercadar, dengan mata yang tajam namun lembut.
Ketiganya datang dari dunia yang berbeda—budaya, keyakinan, cara pandang hidup—namun masing-masing dari mereka menyimpan cerita yang dalam tentang siapa diri mereka, bagaimana mereka memahami kehidupan, serta apa yang mereka harapkan dan takutkan.

Pada Gambar ini, Mereka adalah penjaga nilai-nilai lama. Dari raut wajah dan pakaian yang dikenakan, kita bisa merasakan kekayaan tradisi yang mereka warisi dan hidupi sepanjang hidupnya.
Ketakutan mereka bisa jadi adalah: Budaya yang perlahan hilang karena generasi muda tak lagi tertarik. Anak cucu yang tumbuh tanpa akar—tanpa tahu dari mana mereka berasal. Dunia yang bergerak terlalu cepat, hingga tak memberi ruang untuk nilai-nilai lama bertahan.
Harapan mereka mungkin: Tradisi dan budaya leluhur tetap hidup dan diteruskan. Nilai-nilai kesederhanaan, gotong royong, dan hormat pada yang tua tetap dijunjung. Generasi muda tetap mau mendengar cerita dan belajar dari masa lalu.

Pada gambar ini, Senyumnya menggambarkan kebanggaan—bahwa menjadi bagian dari komunitas adat adalah identitas, bukan beban. Ia tampil dengan percaya diri di tengah dunia yang mungkin memandangnya asing.
Ketakutan yang mungkin ia simpan: Kehilangan jati diri karena tekanan dunia luar. Diskriminasi dan tidak dihargainya budaya yang ia banggakan. Alam tempat ia hidup rusak oleh kepentingan ekonomi atau politik.
Harapan yang mungkin ada dalam hatinya: Dunia bisa menghargai keberagaman dan keindahan budaya lokal. Ia tetap bisa maju—berpendidikan, berkarya—tanpa harus melepaskan identitasnya. Suatu hari, budaya komunitasnya tidak hanya bertahan, tapi juga dikagumi.

Mata itu berbicara banyak. Di balik cadarnya, ia mungkin sedang menyuarakan keberanian untuk hidup setia pada keyakinannya, meski dunia sering kali salah paham.
Ketakutan yang bisa ia rasakan: Dicap dan dinilai hanya dari penampilan. Dibatasi atau bahkan disalahpahami oleh lingkungan sekitar. Tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri secara utuh.
Harapan yang mungkin ia miliki: Bisa hidup aman dan damai, bebas dari prasangka. Tetap bisa berpendidikan, berkarya, dan berkontribusi tanpa harus melepas keyakinan. Dihargai bukan karena tampilannya, tapi karena hati dan pikirannya.
Bagaimana Kita Menyikapi Semua Ini?
Perbedaan itu bukan ancaman, bukan pula alasan untuk merasa paling benar. Justru, perbedaan adalah wajah nyata dari kehidupan itu sendiri.
🌈 Maka, mari kita menyikapi perbedaan dengan:
Rasa hormat: Menghargai pilihan dan jalan hidup orang lain, meskipun tak sama.
Empati: Berusaha memahami dunia dari sudut pandang mereka.
Kesadaran: Bahwa kita pun memiliki cara pandang yang unik.
Pencarian titik temu: Karena di balik perbedaan, kita punya harapan yang sama.
Kemauan untuk belajar: Karena dunia ini terlalu kaya untuk kita pahami dari satu sudut saja.
Pada Akhirnya….
Setiap orang punya jalannya sendiri. Kita semua sedang mencari tempat, makna, dan cahaya di dunia yang luas ini. Jangan buru-buru menghakimi, jangan mudah merasa paling tahu. Mari kita saling menyapa, saling menerima, dan saling belajar. Karena dunia yang damai, bukan dibangun oleh keseragaman, tapi oleh keberagaman yang saling menghargai.
Ini Hasil Belajarku di #LKLB
