Mengapa Kita Mempersembahkan Kain (Rantasan)?

NM. Adnyani

Dalam tradisi Hindu Bali, setiap unsur persembahan memiliki makna. Tidak ada yang hadir secara kebetulan—semua adalah simbol. Salah satu komponen penting dalam upakara adalah kain persembahan, yang dalam bentuk sederhana dikenal sebagai rantasan.

Rantasan bukan sekadar lembaran kain; ia adalah simbol dari pikiran manusia. Pikiran manusia bagaikan sehelai kain panjang yang dililit dan dilipat, menyimpan banyak simpul keinginan, harapan, kecemasan, dan niat. Pikiran adalah bundelan keinginan (bundle of desire)—yang tak pernah diam, selalu mengembara ke masa lalu atau masa depan, jarang tinggal di saat ini.

Ketika kita mempersembahkan kain, kita sejatinya mempersembahkan pikiran kita sendiri. Kita meletakkan segala ambisi, kekhawatiran, kelekatan, serta kehendak pribadi kepada Hyang Widhi. Itu adalah bentuk pengendalian diri dan penyucian batin.

“Kain menutupi tubuh, seperti pikiran menutupi jati diri sejati kita. Maka mempersembahkan kain adalah simbol melepas lapisan-lapisan itu, agar kita bisa kembali pada inti: kesadaran murni.”

(Terinspirasi dari ajaran Taittiriya Upanishad dan filosofi kosmologi Hindu Bali)

Dalam konteks spiritual, rantasan juga bermakna kesediaan untuk membungkus diri dengan kesucian. Seperti halnya kain yang membungkus simbol suci atau pelinggih, demikian pula kita menyelimuti niat hidup kita dengan nilai Dharma—agar hidup ini tidak telanjang tanpa arah, tetapi terlindung dalam kesadaran akan Tuhan.

Makna Simbolik Rantasan

Putih – pikiran yang jernih dan sattvika. Warna putih identik dengan sattva guna, sifat kejernihan dan kesucian pikiran (Bhagavad Gita 14.6). Kuning – kebijaksanaan dan pencerahan. Dalam tradisi Bali, warna kuning diasosiasikan dengan Dewa Mahadeva (arah barat), lambang kebijaksanaan dan kematangan spiritual. Merah – keberanian dan hasrat (rasa, rajo guna). Merah melambangkan api dan semangat hidup; namun juga harus dikendalikan agar tidak mendominasi (Bhagavad Gita 3.37–39). Hitam – kekuatan penegak dan perlindungan. Hitam di Bali dikaitkan dengan arah utara (Dewa Wisnu) dan simbol keteguhan dalam menghadapi gelapnya kebodohan.

Keempat warna ini sering dijalin dalam rantasan pelangi, menggambarkan empat arah pikiran, empat kekuatan batin. Dalam lontar Tuturan tentang Sarwa Bhuana, juga disebut bahwa warna-warna ini melambangkan harmoni dari segala unsur kehidupan (panca maha bhuta) dan kekuatan Dewa-Dewi yang menopang semesta.

Saat kita mempersembahkan rantasan, sejatinya kita tengah berkata:

“Inilah pikiranku, dengan segala keinginan dan niatnya. Aku serahkan pada-Mu. Bimbing agar pikiranku selaras dengan kehendak-Mu.”

(Lontar Dharma Prawerti mengajarkan: “Sarira ring manusia tan wenang nyidaya ring dharma tan salunglung pikayun ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”)

Mempersembahkan rantasan bukanlah tindakan simbolik belaka. Ia adalah latihan spiritual yang halus: mengakui bahwa pikiran kita bukan milik kita sepenuhnya, dan bahwa hanya melalui penyerahan (ishwarapranidhana) kita bisa menemukan ketenangan.

“Yoga is the cessation of the movements of the mind.”

(Yoga Sutra Patanjali 1.2 – citta vritti nirodhah)

Diterbitkan oleh Ni Made Adnyani

Aku suka Menulis, aktifitas Mengajar dan Yoga

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai