Mengapa Kita Mempersembahkan Nasi, Serondeng, dan Wijen?

NM. Adnyani

Nasi dengan serondeng yang belum di tambahkan wijen Hitam

Dalam tradisi Hindu di Bali, mempersembahkan bukan sekadar memberi—tetapi sebuah proses spiritual yang mengajarkan kita tentang syukur, kesadaran, dan ketulusan. Di antara sekian banyak bentuk persembahan, ada satu wujud sederhana namun kaya makna: nasi, serondeng, dan wijen. Mungkin kita pernah bertanya, “Kenapa bahan-bahan itu yang dipakai?” Atau, “Bolehkah ditambah porosan dan bunga di atasnya?”

Artikel ini mencoba mengurai makna di balik kesederhanaan itu.

🍚 Nasi: Hasil Hidup dan Kesadaran yang Matang

Nasi adalah makanan pokok kita. Tapi dalam konteks persembahan, nasi lebih dari sekadar santapan—ia adalah simbol kehidupan yang telah diolah, disucikan, dan dipersembahkan kembali kepada sumber kehidupan itu sendiri.

Dalam Bhagavad Gita disebutkan:

“Mereka yang makan tanpa mempersembahkan terlebih dahulu, sesungguhnya memakan dosa.”

(Bhagavad Gita 3.13)

Dengan mempersembahkan nasi, kita belajar untuk tidak serakah. Bahwa hidup ini bukan tentang memiliki, tetapi berbagi dan menyadari siapa pemilik sejatinya.

🥥 Serondeng: Api Kesadaran dan Pengendalian Diri

Serondeng, parutan kelapa yang digoreng, bukan sekadar pelengkap. Ia adalah simbol teja, api. Api yang menyala di dalam diri manusia sebagai semangat, sebagai kendali, sebagai pemurni.

Serondeng mengingatkan kita bahwa hidup tanpa “penggorengan” tak akan matang. Kita butuh digembleng oleh ujian, oleh kesulitan, agar menjadi manusia yang lebih sadar dan bersyukur.

 Wijen: Benih Kesucian dan Karma yang Murni

Wijen, atau dalam bahasa Sanskerta disebut tila, adalah simbol dari benih karma. Meski kecil, ia menyimpan energi besar. Dalam ritual Veda, wijen sering digunakan untuk pemurnian, terutama dalam pembersihan karma leluhur.

Wijen mengajarkan kita bahwa hal kecil pun bisa berarti besar jika dilakukan dengan tulus. Dalam hidup, bukan soal besar kecilnya pemberian, tapi besar kecilnya niat yang tersembunyi di baliknya.

Dalam beberapa tradisi Bali, di atas nasi, serondeng, dan wijen sering ditambahkan porosan (sirih, pinang, kapur) serta bunga. Bukan hanya sebagai pelengkap estetika, tetapi sebagai simbol kesatuan antara: Materi (nasi, serondeng, wijen), Pikiran (porosan), dan Rasa (bunga).

Porosan melambangkan Tri Guna: sattwam (kesucian), rajas (semangat), tamas (stabilitas). Sementara bunga adalah lambang bhakti dan keindahan jiwa.

Dalam Bhagavad Gita 9.26, Krishna bersabda:

“Siapa pun yang mempersembahkan kepada-Ku dengan penuh cinta sehelai daun, bunga, buah, atau air—Aku menerimanya.”

Itu artinya: bukan soal bentuknya, tapi soal hati yang mempersembahkan.

✨ Makna yang Lebih Dalam

Ketika kita menyusun nasi, serondeng, wijen, lalu meletakkan porosan dan bunga di atasnya, kita sebenarnya sedang menyusun kesadaran hidup. Kita sedang berkata:

“Ini hasil dari hidupku (nasi).

Ini pengendalian diriku (serondeng).

Ini karma dan benih kebaikanku (wijen).

Ini pikiranku yang kupersembahkan (porosan).

Ini cintaku yang tulus (bunga).”

Dan pada saat itu, semesta mendengar.

Persembahan bukan soal besar kecil, indah atau sederhana. Ia adalah cermin hati. Dan lewat secuil nasi, serondeng, dan biji wijen, kita diajak kembali ke inti hidup: bersyukur, berbagi, dan mengingat siapa kita sebenarnya.

Karena pada akhirnya, yang kita persembahkan bukanlah benda—tetapi diri kita sendiri.

Diterbitkan oleh Ni Made Adnyani

Aku suka Menulis, aktifitas Mengajar dan Yoga

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai