Studi Kasus berikutnya Ini disusun bersama pada saat BIMTEK FASILITAOR PM Jenjang SMA oleh kelompok Kreatif yang terdiri dari Ibu Hamsinah, Ibu NM. Adnyani, Ibu Hidayah, Ibu Neneng Qomariana, Bapak Supriyanto, Bapak Rozalli dan Bapak Suharyono

Studi Kasus Naratif: “Merangkai Atom, Menyulam Makna”
Di suatu pagi yang tenang di ruang guru, Bu Hamsi—guru Kimia yang dikenal penuh semangat—merenung dalam diam. Ia merasa pembelajaran di kelasnya belum menyentuh inti yang ia harapkan. Peserta didiknya tampak pasif, kurang terlibat dalam kerja kelompok, dan sering kali mengandalkan instruksi tanpa inisiatif. Padahal, ilmu Kimia adalah ilmu yang begitu hidup, menyatu dalam keseharian. Tapi mengapa anak-anak justru tidak merasakan getarannya?
Permasalahan yang ia temukan bukan hanya soal rendahnya kemampuan berpikir kritis, tetapi juga lemahnya kolaborasi antarpeserta didik, refleksi diri yang minim, serta karakter yang belum terbentuk kuat. Bahkan dalam praktik pengukuran yang menjadi bagian penting dalam eksperimen, para siswa terlihat kurang teliti dan tidak percaya diri.
Bu Hamsi pun memutuskan untuk tidak menyerah. Ia mulai menyusun strategi pembelajaran yang tak lagi berjalan sendiri. Ia ingin membangun jembatan dengan rekan sejawat, membuka ruang untuk kolaborasi lintas mata pelajaran. Ia mengundang guru Fisika, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Agama untuk bersama-sama menyusun sebuah proyek pembelajaran yang utuh dan mendalam.
“Bagaimana kalau kita membuat proyek membangun model atom?” usul Bu Hamsi dalam rapat kecil mereka. “Tapi bukan sekadar membuat, melainkan meneliti, mengukur, menjelaskan, menyampaikan, dan merenungkan.”
Guru Fisika pun antusias. Ia melihat peluang untuk menguatkan pemahaman siswa tentang radioaktivitas. Guru Matematika tertarik untuk menekankan aspek pengukuran, proporsi, dan presisi. Guru Bahasa Indonesia melihat potensi dalam membangun kemampuan komunikasi ilmiah melalui penulisan laporan dan presentasi. Sementara itu, guru Pendidikan Agama menyambut baik rencana ini untuk menumbuhkan nilai spiritualitas dan kesadaran akan keterhubungan antarmanusia, alam, dan semesta.
Bersama-sama, mereka merancang rencana proyek kolaboratif: mulai dari jadwal, alur kegiatan, rubrik penilaian, hingga pembagian peran antar siswa. Pembelajaran ini akan dilaksanakan secara bertahap, dimulai dengan penggalian masalah, eksplorasi konsep lintas disiplin, hingga pembuatan model atom dan presentasi ilmiah.
Setiap kelompok siswa diberi ruang untuk merancang model atom sesuai hasil diskusi dan kajian. Mereka harus menjelaskan pilihan desainnya secara ilmiah, melakukan pengukuran massa relatif partikel penyusunnya, dan mempresentasikan hasil temuannya dalam forum terbuka. Tak hanya itu, mereka juga diminta untuk menulis refleksi pribadi: tentang proses belajar, tantangan yang dihadapi, dan perubahan cara pandang yang mereka alami.
Refleksi ini menjadi momen penting. Beberapa siswa mengaku awalnya merasa tak yakin bisa berkontribusi dalam tim. Namun, seiring waktu, mereka belajar untuk percaya, mendengarkan, dan berani bertanya. Ada yang menyadari bahwa belajar tak hanya soal hasil akhir, tapi juga proses dan kebersamaan. Bahkan, beberapa siswa mulai melihat sains bukan sebagai kumpulan rumus yang kaku, melainkan sebagai jendela untuk memahami kehidupan.
Di akhir proyek, Bu Hamsi tersenyum bangga. Ia melihat kelasnya berubah. Siswa tak hanya berhasil membuat model atom yang indah dan akurat, tetapi juga menampilkan kekuatan lain: keberanian untuk berpikir, kemampuan untuk bekerja sama, dan kesadaran akan nilai-nilai hidup.
Dari satu proyek sederhana, tumbuhlah pembelajaran yang bermakna. Dan dari sinilah, pembelajaran mendalam dan kolaboratif itu menemukan rumahnya—di hati para guru yang mau berkolaborasi, dan di jiwa anak-anak yang sedang bertumbuh.
Hotel Mega Lestari Balikpapan, 6 Juli 2025
