Kepada kamu,
yang datang membawa cahaya,
yang hadir bagai mentari pertama di musim penghujan,
aku masih ingat…
detik-detik pertemuan yang terasa seperti hadiah dari semesta.
Kau berikan aku kehangatan.
Kau ajarkan aku mengenal cinta—yang semula hanya kubaca dalam puisi,
yang semula kupikir hanya milik para pengkhayal.
Tapi kemudian,
perlahan, cinta itu berubah rupa.
Dari taman berbunga, menjadi semak penuh duri.
Dari pelukan yang menenangkan, menjadi genggaman yang menyakitkan.
Dari tatap yang meneduhkan, menjadi pandang yang membuatku ciut.
Kini, semua tentangmu hanya tinggal kenangan.
Kenangan yang membekas seperti luka yang belum sempat sembuh,
lalu disengat lagi oleh ingatan.
Perjuangan ini tak sederhana—
aku terhempas antara harapan dan kenyataan,
antara cinta yang pernah tumbuh dan luka yang kini menumpuk.
Tubuhku letih, jiwaku sesak,
emosiku tak seimbang,
dan air mata seolah tak pernah habis.
Tapi hari ini, aku ingin menulis ini bukan untuk menyalahkanmu.
Bukan pula untuk memintamu kembali.
Aku hanya ingin meletakkan segalanya di sini.
Agar aku bisa berjalan lebih ringan.
Agar aku bisa pulih—perlahan.
Terima kasih,
untuk cinta yang pernah ada.
Terima kasih,
bahkan untuk luka-lukanya.
Karena darimu, aku belajar
apa arti bertahan,
dan lebih dari itu—apa arti melepaskan.
Salam dari kejauhan,
dari seseorang yang pernah mencintaimu,
dalam diam, dalam doa,
tanpa nama.
