NM. Adnyani
Ada peristiwa sederhana yang kadang justru menyimpan makna paling dalam. Malam itu, di Kampus A, untuk pertama kalinya aku menginap—menyatu dengan suasana baru yang penuh semangat dan harapan. Di tengah udara dingin dan langit yang temaram, kami bersiap menyalakan api unggun pertama di kampus ini.
Sore menjelang malam, seluruh persiapan dilakukan dengan antusias. Tak ada yang istimewa secara kasat mata: hanya tumpukan kayu, lingkaran obor, dan wajah-wajah muda yang bersemangat. Namun di balik itu semua, ada getaran batin yang tak bisa dijelaskan.
Bagi kami, api unggun bukan sekadar tradisi kepanduan. Ia adalah simbol: tentang persaudaraan, tentang keberanian memulai, tentang cahaya yang menuntun langkah di tengah gelap. Saat nyala pertama muncul, kurasakan sesuatu yang hangat mengalir—bukan hanya di kulit, tapi di hati.
Aku ingin menyalakan kembali spirit kepanduan—api yang mungkin sempat redup oleh rutinitas, kini kubakar lagi dengan niat dan keyakinan.
Dan entah bagaimana semesta ikut menata semuanya begitu tepat. Tepat sebelum aku menyulut api, telepon dari Ibu berdering.
Suaranya lembut, tapi menggetarkan:
“Selamat hari lahir, Nak. Hari ini Sukra Umanis Warigadian—wetonmu.”
Aku terdiam sejenak. Ternyata malam yang kupilih untuk menyalakan api unggun pertama di Kampus A adalah hari kelahiranku sendiri.
Langit di atas seolah ikut menyala bersama api unggun yang kini membesar. Aku tersenyum, menyadari bahwa tidak ada kebetulan — semua sudah diatur, agar aku memulai perjalanan ini bukan hanya sebagai pengalaman baru, tetapi sebagai perjalanan spiritual.
Sebuah pertanda spiritual yang terasa begitu tepat. Api yang menyala di depan mata seakan menyatu dengan api semangat di dalam diri, menandai awal dari perjalanan baru—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.
Malam itu bukan sekadar kegiatan pramuka atau pelatihan karakter. Ia menjadi titik balik kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya soal ilmu, tapi juga tentang pembentukan jiwa—jiwa yang berani menyalakan terang di tengah gelap, yang mampu menjaga api semangat meski angin tantangan datang bertiup.
Kini, setiap kali aku melangkah di halaman Kampus A, aku selalu teringat malam itu. Malam saat api pertama dinyalakan—dan semangat kepanduan kembali hidup di tempat ini.
Malam saat aku disadarkan bahwa perjalanan spiritual bisa dimulai dari hal sederhana, dari satu percikan nyala yang tumbuh menjadi cahaya kebersamaan.
Dan seperti pesan yang pernah Ibu ucapkan,
“Setiap api yang kau nyalakan dengan niat baik, akan selalu menemukan jalannya untuk menerangi.”
Malam itu, di bawah cahaya api dan langit yang berpendar lembut, aku berjanji pada diri sendiri: untuk terus menjaga nyala, untuk terus menghidupi semangat, dan untuk tidak lupa bersyukur atas setiap pertemuan antara waktu, tempat, dan makna.
Terima Kasih Ibu ❤️
