Latar Belakang Upacara Entas-Entas
Setiap manusia memiliki prilaku, perbuatan, aktivitas, dan segala tindak tanduk yang berbeda dari masing-masing individu maupun dalam kelompok, termasuk juga umat Hindu adalah beragam adanya. Baik dari segi aktivitas keseharianya maupun kegiatan ritual keagamaan yang sangat dipengaruhi adanya budaya dan kebiasaan dimana mereka tinggal. Apapun perilaku yang ditunjukan oleh umat Hindu dimanapun berada, itu merupakan ciri dan identitas sebagai manusia yang memiliki jati diri dan setidaknya berbagai macam perilaku yang ditunjukan, diharapkan mampu menunjukan adanya peningkatan, perubahan, kemajuan dalam hal Sraddha dan Bhakti.
Upacara Entas-Entas umat Hindu Tengger di Dusun Wonoayu, menurut Romo Dukun Atim Wibowo (Pendeta Suku Tengger) umat Hindu Dusun Wonoayu dilaksanakan (1) sebagai kewajiban seorang anak untuk melaksanakanya dan tidak boleh ditinggalkan, (2) takut Kualat (terjadi petaka dalam keluarga), (3) sebagai penghormatan terkhir kepada orang tua. Jadi sudah jelas sekali dari ketiga hal di atas merupakan pondasi dasar dari adanya upacara Entas-Entas yang dilaksanakan umat Hindu Tengger di dusun wonoayu yang turun teurun hingga saat ini yang tetap terjaga dan lestari sebagai warisan leluhur. (Atim Wibowo, Wawancara:15 Juli 2008)
Sedangkan menurut Romo Dukun Karioleh, upacara Entas-Entas merupakan suatu hal yang memang harus dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya yang sudah meninggal agar dalam kehidupan berkeluarga tidak menimbulkan petaka. Diyakini jika upacara Entas-entas ditinggalkan oleh seorang anak terhadap orang tuanya yang sudah meninggal, akan membawa dampak dalam keluarga bersangkutan dalam hal ini ketidak tentraman dalam keluarga. Oleh sebab itu hendaknya wajib bagi seorang anak untuk melaksanaka upacara Entas-Entas ini. (Karioleh, Wawancara:26 Juli 2008).
Romo Dukun Sutomo (wakil ketua paruman dukun sekawasan Tengger) mengatakan, bahwa upacara Entas-Entas memiliki tujuan untuk membebaskan roh leluhur dari ikatan belenggu dosa agar bisa kembali kepada Hyang Tunggal (Sang Hyang Widhi Wasa). Jika seorang anak sampai tidak melaksanakan apalagi melupakan upacara Entas-Entas, ini merupakan suatu dosa terhadap orang tua yang dikemudian hari dapat memberikan suatu petaka dalam keluarga bersangkutan. Jika tidak menginginkan hal itu terjadi, maka wajib hukumnya upacara Entas-Entas ini dilaksanakan. (Sutomo, Wawancara:21 juni 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa upacara Entas-Entas merupakan upacara yang tidak boleh ditinggalkan oleh umat Hindu Tengger di Dusun Wonoayu agar dalam kehidupan berkeluarga tetap harmonis dan mendapatkan restu dari para leluhur mereka. Disamping itu dengan melaksanakan upacara Entas-Entas ini, keluarga yang bersangkutan (anak) melunasi hutang kepada leluhurnya.
Pengertian Upacara Entas-Entas
Kata Entas-entas berasal dari bahasa jawa, yaitu “Entas” yang artinya mengambil, mengangkat dan menghilangkan. Pemakaianya dalam kalimat bisa berarti mengambil barang/sesuatu yang tadinya dijemur atau direbus, karena sudah kering atau sudah saatnya diambil oleh pemiliknya. Upacara Entas-entas secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses perjalanan roh (atman) dari seseorang yang sudah meninggal untuk diambil dan diangkat serta dijauhkan agar terhindar dari lingkaran atau siklus punarbhawa. Proses ini diharapkan akan dapat mengembalikan atman kepada asalnya (Sangkan Paraning Dumadi) yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Atman menyatu dengan Paramatman terlepas dari siklus atau lingkaran punarbhawa (lahir berulang kali kedunia).
Ini berarti bahwa upacara Entas-entas adalah sebuah upaya yang memanfaatkan kesempatan bagi sang roh untuk menuju kelepasan abadi, yaitu Moksa. Tentunya ini adalah suatu harapan namun diyakini oleh umat Hindu etnis Tengger sebagai warisan leluhur bahwa inilah jalan menuju kebahagiaan abadi. (Media Hindu edisi 34, 2006:14)
Sementara, upacara Entas-entas ini adalah jalan agar kesempatan itu tidak hilang dan status rohani sang roh menjadi jelas keberadaanya. Oleh karena itu, upacara Entas-entas penekananya secara spiritual adalah roh yang sudah pantas kembali dan diambil oleh pemiliknya yaitu Brahman. Upacara Entas-entas merupakan upacara yang dianggap sakral yang bertujuan bagi arwah orang yang meninggal sempurna dan masuk ke alam nirwana. Menurut wong tenggger, upacara Entas-entas merupakan upacara yang sakral dan tergolong paling ditakuti oleh penduduk setempat yang memeluk Hindu. Karena apabila ada arwah yang terlupakan untuk di entas, maka keluarga orang yang menyelenggarakan upacara Entas-entas akan mendapat musibah atau bencana. Oleh sebab itu, sebelum upacara Entas-entas dilangsungkan, pemimpin upacara berkali-kali mengadakan pengecekan terhadap keluarga orang-orang yang meninggal dunia yang sengaja untuk di entas.
Dengan demikian menurut pengertian dari upacara Entas-entas tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa upacara Entas-entas merupakan proses untuk membebaskan roh dari siklus punarbhawa dan mengantarkan roh menuju asalnya yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa (sangkan paraning dumadi).
Waktu Dilaksanakannya Upacara Entas-entas
Berdasarkan ajaran agama Hindu, pelaksanaan upacara yadnya pada hari-hari tertentu sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar pengertian ajaran astronomi karena setiap planet merupakan wilayah kekuasaan dari para Dewa tertentu dan mempunyai arti yang berbeda-beda pula. Pemujaan atau penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya di selenggarakan dengan Yadnya. Pelaksanaan yadnya tersebut sudah memiliki ketentuan-ketentuan pada hari-hari tertentu. (Sudirga ,2004 :97)
Di Dusun Wonoayu setiap upacara selalu dipilih hari-hari baiknya. Apakah upacara perkawinan ataupun upacara-upacara adat lainya. Menurut kepercayaan setempat, bahwa Hari, memiliki pengaruh yang besar sekali terhadap berhasil tidaknya pekerjaan yang dilaksanakan. Oleh karena tiap-tiap hari itu mempunyai arti baik buruk yang mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti di contohkan bahwa di musim kemarau adalah tidak baik untuk menanam sayur-mayur. Tetapi saat itu adalah musim yang baik untuk mengeringkan jagung dan hasil panen yang lain.
Demikian pula dengan upacara keagamaan di Dusun ini, umat Hindu setempat mempunyai kepercayaan untuk memilih hari-hari yang di anggap baik untuk melaksanakan upacara. Pemilihan hari baik memakai dua pertimbangan yaitu mendasarkan perhitungan hari pada perhitungan bulan dan matahari, dan ada pula yang berdasarkan perhitungan wewaran dan wuku. Adapun sistim penanggalan masyarakat Tengger adalah sebagai berikut:
Nama Hari
Masyarakat Tengger mengenal nama hari yang bersiklus tujuh dan pasaran yang bersiklus lima, nama harri tersebut adalah : Radite (Minggu), Coma (Senin), Anggara (selasa), budha (Rabu), Wraspati (kamis), Sukra (jumat), Tumpek (Sabtu). Sedangkan nama dan urutan pasarannya adalah sebagai berikut: Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon.
Penanggal dan Panglong
Dalam perhitungan masyarakat Tengger satu bulan terdiri dari tiga puluh hari yang di bagi menjadi dua yaitu penanggal dan panglong, kalau di bali dikenal dengan Purnama dan Tilem. penanggal terdiri dari lima belas hari dan panglong juga terdiri dari lima belas hari.
Pawukon
Jumlah pawukon ada 30 wuku, masing-masing wuku berumur 7 hari yang di mulai pada hari Radite ( minggu), nama wuku itu adalah sebagai berikut: Sinta, landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbrek, Warigalit, Warigadean, Julungwangi, sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menial, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut dan Watugunung.
Pelaksanaan upacara Entas-entas biasanya dilaksanakan setelah usia meninggalnya setelah 1000 hari, akan tetapi ada juga yang melaksanakan upacara Entas-entas sebelum genap 1000 hari. Pada umumnya masyarakat Dusun Wonoayu melaksanakan upacara Entas-entas setelah 1000 hari, ini dikarenakan sebelum 1000 hari masih ada rangkaian upacara bagi orang yang meninggal (Mati). Mulai ketika meninggal, tiga harinya (Telongdinone), tujuh harinya (Pitong Dinane), limabelas harinya (nglimolasi), duapuluh satu harinya (Nylikuri), empat puluh harinya (Petangpuluhe), seratus harinya (nyatus), dan terakhir adalah seribu harinya (Nyewu) yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan upacara Entas-entas.
Dalam proses pelaksanaan, upacara Entas-entas harus memperhatikan baik buruknya hari menurut perhitungan pancawara dan saptawara yang kemudian digabungkan dengan pawukon. Setelah didapatkan hari yang baik menurut perhitungan Wong Tengger, baru boleh dilaksanakan upacara Entas-entas. Biasanya pihak keluarga yang akan melaksanakan upacara Entas-entas pergi kerumahnya Romo Dukun (Pendeta Tengger) setempat untuk memperoleh kapan diperbolehkan melangsungan upacara Entas-entas.
Sarana Yang Di Gunakan Dalam Upacara Entas-entas
Sarana yang di gunakan dalam Upacara Entas-entas yang dilaksanakan oleh umat Hindu suku Tengger yang ada di Dusun Wonoayu ini sedikit berbeda dengan upacara Entas-entasyang dilaksanakan umat Hindu suku Tengger di daerah lain, hal demikian bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal,yaitu:
- Sumber ataupun yang dijadikan pegangan kemungkinan berbeda
- Situasi dan kondisi yang berbeda sesuai dengan Desa Kala Patra.
Adapun sarana ataupun bahan yang digunakan dalam Upacara Entas-entas yang dilaksanakan oleh umat Hindu suku Tengger Dusun Wonoayu, diantaranya adalah:
- Beras
- Ayam
- Kelapa
- Suroh(sirih)
- Ennjet(kapur)
- Jambe( buah pinang)
- Tembakau
- Pisang
- Lawe, yakni benang yang berwarna putih
- Tampah, yaitu anyaman bambu yang bentuknya bulat dipenggirnya diberi wengkon (bahasa tengger).
- Tetel, yakni sejenis jajanan tradisional yang dibuat dari bahan ketan yang di kukus dan dicampur dengan kelapa parutan lalu ditumbuk hingga halus.
- Pipes, bentuk jajanan yang dibuat dari bahan tepung beras dicampur kelapa parut dan gula merah kemudian dibungkus dengan daun pisang dan dikukus.
- Godoh, atau pisang goreng
- Apem, yaitu jajanan yang dibuat dari tepung beras yang di buat adonan encer berisi gula dan pewarna, lalu diletakan kedalam cetakan dan dikukus.
- Tape, adalah jajanan yang terbuat dari beras ketan ataupun singkong yang diberi ragi setelah itu dibungkus dengan daun pisang dan didiamkan selama 3 hari.
- Wajik, merupakan jajanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan gula merah dan dikukus.
- Jenang, merupakan jajanan yang tebuat dari tepung yang dicampur dengan gula merah yang kemudian diaduk didalam wajan yang besar hingga matang.
- Beberapa jenis dedaunan seperti: daun pisang, daun kelapa hijau dan kuning, daun sirih, daun andong, daun aren serta daun-daun yang lain jika diperlukan
- Beberapa jenis bunga diantaranya: bunga mitir, bunga putihan, bunga tanalayu.
Bahan-bahan tersebut, untuk bisa digunakan sebagai sarana dalam pelaksanaan Upacara Entas-entas harus dibuat dalam bentuk Sesajen (banten). Sesajen yang di gunakan sebagai sarana upacara entas-entas yang dilaksanakan oleh umat Hindu suku Tengger di Dusun Wonoayu diantaranya adalah
Gedhang Ayu, Sesaji yang beralaskan pada wadah atau nampan dan berisi dua sisir pisang, satu buah kelapa, segengggam beras, kinangan (daun sirih berisi kapur dan buah pinang), telur, uang kepeng dan uang kertas sebagai sesari
Kulak, sepotong bambu yang ruasnya masih utuh kemudian kulitnya dikupas, berturut-turut dimasukan ke dalam bambu tersebut adalah beras atau wos, uang (sesari), dan lawe (benang berwarna putih).
Pras, Sesajen ini juga diletakan pada sebuah nampan ataupun baskom dan isinya adalah dua buah ayam panggang, dua sisir pisang, dua buah tumpeng sebesar kepalan orang dewasa, ketan yang sudah di kukus dan dibungkus daun pisang, kinangan, tape, pipes dan uang sebagai sesari.
Cepel, Sebuah tempayan yang terbuat dari tanah yang kemudian diisi dengan kain putih sebagai alas dari petra
Petra, adalah bentuk manusia yang terbuat dari pelepah daun pisang yang dibungkus dengan janur dan diberi Agem-agem serta daun andong dan dibawahnya diberi setumpuk daun sana sebagai alas.
Agem-agem, adalah jenis sesajen yang hanya boleh dibuat oleh Legen(orang yang dipercaya untuk membantu Dukun). Sesajen ini terbuat dari bunga mitir, bunga putihan dan daun plawa, serta dibungkus dengan janur (daun kelapa).
Baten, Sesajen Baten hanya berisi uang kertas dan diatasnya diletakkan sebuah batu
Bokor/Penganggo, Adalah satu buah bokor(wadah yang terbuat dari bahan almunium atau kuningan) yang berisi pakaian untuk laki-laki dan perempuan, beras, kinangan,rokok dan uang.
Tigamas, hanya berisi satu ikat uang kepeng yang berjumlah 200 buah.
Sesajen Dulang, lempengan kayu berbentuk persegi panjang berisi setangkai daun sirih dan setangkai buah pinang.
Gubahan Banyu, Sesajen Gubahan Banyu hampir sama dengan Gedhang Ayu, hanya saja ditambah dengan dua buah tumpeng, tetel, tape, pipes, nasi + lauk, dan 10 buah gubahan.
Sega gurih, adalah sesajen yang terbuat dari berasketan yang dicampur dengan kelapa yang kemudian dimasak seperti nasi dan ditaruh dipiring yang kemudian diatasnya diisi lauk pauk.
Boreh, adalah campuran dari beberapa jenis bunga dan dicampur lagi dengan irisan daun pandan serta diberi minyak wangi
Sandingan, adalah sesajen yang terdiri dari petra, gedang ayu, pras, agem-agem, prapen (padupan), tirta, bunga, jajanan, jenang, takir, juwadah (putih, merah, hitam, kuning), tumpeng papak dan lancip, rokok, kopi manis, nasi beserta lauk pauk.
Cok Bakal, Adalah sesajen yang diletakkan pada sebuah takir (wadah tanpa tutup yang terbuat dari daun pisang rangkap dua dan diberi lidi dengan arah berlawanan hingga membentuk segi empat) yang berisi ikan teri, Empon-empon (jahe, kunyit, kencur dan sebagainya), biji-bijian yang terdiri dari merica, ketumbar, kacang-kacangan dan kedelai, kluwak (pangi), kemiri, cikal (kelapa sebanyak satu iris/secuil), cabe, garam, gula, kaca, sisir, pisang, tebu, bunga, kinangan, telur, beras dan uang kepeng.
Beras Pitrah, adalah sesajen yang terdiri dari pisang satu tangkep dan ditengahnya diisi beras 1 Kg, gula 1 Kg , kelapa 1 biji dan di atas kelapa dikasih benang warna putih, telor, jajan.
Sajen Tuwuhan ini terdiri dari batang tumbuh-tumbuhan diantaranya yaitu:
- Sebatang pohun Piji
- Sebatang Tebu
- Sebatang Buah Jambe dan Buah Kelapa
- Sebatang pohon Pisang
- Setangkai pohon Putihan
- Setangkai pohon Beringin
- Bale Kambangan
Bale Kambangan merupakan sesuatu yang terdiri dari beberapa bantal yang kemudian di tutupi kain putih. Fungsi dari bale kambangan ini adalah sebagai tempat duduk petra di sandingan.
Demikianlah sarana dan prasarana yang diperlukan dalam upacara entas-entasyang dilaksanakan umat Hindu suku Tengger di Dusun Wonoayu, Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur.
Makna Sarana dalam upacara Entas-entas
Dalam setiap upacara keagamaan pasti membutuhkan sarana sebagai suatu penghubung. Sarana yang digunakan dalam upacara Entas-entassemuanya adalah hasil bumi yang diperoleh dari hasil pertanian masyarakat, dan semuanya itu bukan hanya sekedar sebagai pelengkap saja melainkan di dalamnya mengandung makna yang sangat dalam berkaitan dengan ajaran agama Hindu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai sarana yang digunakan dalam Upacara Entas-entas, semuanya merupakan simbol yang diwujudkan dalam bentuk nyata sebagai ungkapan rasa Bhakti umat Hindu Tengger di Dusun Wonoayu terhadap kebesaran Tuhan. Berikut ini adalah penjelasan tentang makna dari beberapa sarana yang dugunakan dalam upacara Entas-entas:
Jenang
Jenang sebagai simbul dari jeneng, wujud, pernyataan yang ada maksudnya terjadinya sesuatu bahan mentah akan terwujud bila diolahatau memalui proses tertentu yang dalam hal ini maksudnya adalah terjadinya manusia ini dapat dilihat dari sarana dalam pembuatan jenang yaitu tepung dan gula. Tepung dalam hal ini berwarna putih dan gula yang dipakai berwarna merah (gula merah). Tepung adalah simbul dari seperma sedangkan gula merah lambana dari janin. Kemudian kedua unsure tepung dan gula bertemu dalam wajan yang dimaksud adalah gua garba(rahim), kemudian tepung dan gula akan bisa bersatu kalau melalui proses pengadukan dan akan merekat bila diisi dengan ketan (perekat), sperma dengan janin akan bisa bersatu bila ada pengadukan dengan perekat dalam hal ini adalah perkawinan. (Karioleh, wawancara 23 juni,2008)
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenang adalah simbul dari suatu perkawinan yang tujuanya untuk memperoleh keturunan yaitu menyatukan sperma dengan janin dalam rahim. Proses untuk memperoleh keturunan pada manusia ini berarti sebagai awal kehidupan manusia. Di dalam ajaran agama Hindu, perkawinan adalah wajib, karena tujuanya adalah untuk melestarikan kehidupan di dunia. Tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak, maka anak inilah yang nantinya akan berkewajiban untuk mengentaskan orang tuanya ketika sudah meninggal. Yaitu dengan melaksanakan upacara Entas-entas.
Takir
Takir berbentuk segi empat yang terbuat dari janur merupakan simbul dari kehidupan di dunia. Janur berasal dari kata ja yang berarti jagat dan nur berarti urip, Jadi kata janur memiliki arti jagat atau dunia beserta isinya. Takir dari janur yang bahan dasarnya adalah duabuah janur yang menyilang yang melambangkan swastika, disini adalah merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan buana agung (makro kosmos) dan buana alit (mikro kosmos).
Ditengah-tengah dasar takir adalah dasar dari swastika sebagai simbul empat penjuru mata angina. Hal ini dimaksudkan dan disesuaikan dengan letak dewa brahma, wisnu, dan iswara serta maha dewa. Adapun posisinya adalah sebagai berikut:
- Brahma tempatnya di selatan dengan warna merah
- Wisnu tempatnya di utara dengan warna hitam
- Iswara tempatnya di timur dengan warna putih
- Mahadewa tempatnya di barat dengan warna kuning
Untuk mempertegas nama dewa yang terletak di empat penjuru mata angin yersebut,dalam mantra yang diucapkan Romo Dukun Atim Wibowo dalam upacara entas-entas di Dusun Wonoayu menyebutkan tentang simbul dewa nawasanga, seperti yang terdapat pada mantra purwobumiyaitu setiap dewa Hindu sebagai manifestasi dari Sang Hyang Widhi dalam sifatnya bermacam-macam, yang disamakan dengan salah satu arah dari “moncopat moncolimo” kalau di Bali dikenal dengan Dewata Nawasanga yaitu sembilan dewa penjuru mata angin. Yang klasifikasinya dewa wisnu di utara dengan warna hitam, dewa iswara di timur denganwarna putih, dewa maha dewa di barat dengan warnakuning, dewa brahma di selatan dengan warna merah, dewa siwa di tenggah dengan warna campuran (semua warna), dewa sangkara di barat laut dengan warna hijau, dewa sambu di timur laut dengan warna biru, dewa maheswara di tenggara dengan warna dadu, dan dewa rudra di barat daya dengan warna jingga adapun letak para dewa “moncopat moncololimo” jika digambarkan pada simbul swastika adalah sebagai berikut:
Tumpeng Papak dan Lancip
tumpeng yang berbentuk lancip merupakan simbul rasa bhakti kepada tuhan atas segala ciptaanya, sedangkan tupeng yang berbentuk papak sebagai simbul dari jagad yang dalamhal ini adalah bumi atau ibu pertiwi
Bunga Tanah Layu
Bunga tanah layu merupakan jenis bunga yang biasa disebut dengan bunga abadi. Bunga ini sebagai symbol keabadian, karena bunga ini meskipun sudah layu bentuk dan warnanya tetap tidak berubah. Demikian halnya dengan keberadaan tuhan, beliau abadi dan kekal sebagai sumber dari segala sumber adanya kehidupan. Bunga tanah layu juga sebagai simbul dari keberadaan atman, dimana atman juga abadi yaitu tidak bisa mati.
Bunga Putihan
Bunga putihan sebagai simbul dari kesucian, maksudnya disini adalah keadaan atman atau roh leluhur yang di entas. Pada hakekatnya roh atau atman itu suci walaupun dia terpengaruh karma ketika masuk ke badan wadag mahluk hidup (manusia).
Beras
Beras merupakan simbul kemakmuran dalam kehidupan ini, dimana padi identik dengan dewi sri sebagai ibu yang memberi kehidupan berupa pangan kepada mahluk hidup (manusia) agar bisa bertahan hidup.
Gedhang Ayu
Gedang ayu diyakini sebagai lambang tempat berstana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa).
Kulak
Kulak merupakan simbul dari kemakmuran serta kesucian pikiran dalam memperoleh kekayaan ketika masih hidup di dunia
Cepel
Cepel adalah sebagai simbul dari kawah yang digunakan untuk mensucikan atman atau membebaskan atman dari segala kekotoran agar kembali suci
Petra
Petra merupakan simbul dari pada leluhur yang hendak di Entas.
Suruh Tulis
Yakni yang terbuat dari daun sirih yang digulung dengan benang lawe dan didalamnya ada kapur dan pinang, yang merupakan symbol dari dewa brahma, wisnu iswara. Disamping itu pula suruh tulis ini juga sebagai simbul bahwa dalam hidup manusia harus selalu menuntut ilmu, baik yang berguna di dunia maupun yang berguna di alam niskala
Gubahan Banyu
Adalah Sesajen yang diletakkan pada sebuah baskom yang dipersembahkan kepada manifestasi Tuhan yang menguasai sumber mata air yang ada di Dusun Wonoayu. Dalam ajaran agama Hindu yang menguasai air adalah Dewa Wisnu.
Cok Bakal
Cok Bakal adalah sesajen yang memiliki alas daun pisang rangkap dua dan dibentuk segi empat serta di tusuk dengan lidi, isinya merupakan symbol dari alam semesta karena didalamnya terdapat segala bentuk miniatur dari isi alam semesta. Sesajenini dipersembahkan kepada Sang Hyang penguasa alam yang disebut Purwaning Jagad/Cikal Bakaling Ana Yaitu Sangkan Paraning Dumadi (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Pras
Sesajen pras merupakan simbul dari linggih sang hyang widhi wasa sekaligus sebagai simbul dari permohonan maaf pelaksanaan upacara Entas-entas siapa tahu ada kesalahan maupun kekurangan dalam menyiapkan segala kelengkapanya.
Agem-agem
Sebagai simbul dari kokohnya sebuah keyakinan dalam hal ini adalah agama. Dimana agem-agemadalah ngugemi dari adanya keyakinan sebagai jalan untuk memperoleh sebuah kebahagiaan hidup.
Leliwet
Leliwet merupakan salah satu sesajenyang dipersembahkan kepada para Buta kala. Ini sebagai symbol bahwa manusia juga harus menghargai segala mahluk yang ada di dunia ini, sekalipun kepada mahluk yang tidak tampak secara nyata
Bokor / Penganggo
Bokor merupakan simbul dari ketidak abadinya dari raga, seperti halnya pakaian dia akan mengalami kerusakan bila sering dipakai dan dicuci.
Tampah
Tampah merupakan simbul dari buana agung
Sandingan
Merupakan persembahan yang di haturkan kepada Leluhur sebagai symbol ungkapan rasa terimakasih kepada Leluhur.
Bale Kambangan
Bale kambangan sebagai simbul singgasana atau tempat duduk Roh (Atman) Leluhur yang di Entas.
Tuwuhan
Tuwuhan ini mengandug maksud yang ditujukan kepada yang punya hajat atau yang mengadakan Prosesi Upacara Yadnya . Karena menurut belau, arti dan makna dari masing-masing bagian Tuwuhan itu adalah sebagai berikut:
- Pohon Piji maknanya Miji / Merencanakan ( Berkenginan)
- Tebu maknanya Anteping Kalbu ( Tulus Iklas )
- Buah Jambe/ Pinangdan Buah Kelapamaknanya Telah berbuahatau Berhasil
- Pohon Pisangatau wit gedangmaknanya Saget Padang ( Lega dan bahagia ).
- Pohon Putihanmaknanya Putih ( Kesucian)
- Pohon Beringin maknanya Pengayoman
Sehingga maksud secara keseluruhan dari Tuwuhan adalah berkeinginan (Krenteg), dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya yang didasari rasa tulus iklas, sehingga mendapatkan hasil sesuai dengan daya dan upayanya. dan apa yang menjadi cita-citanya dapat terlaksana, sehingga membuat seseorang / suatu keluarga merasa bahagia. Karena telah dapat mensucikan Roh Leluhurnya melalui prosesi Upacara Entas-entastersebut . Yang selanjutnya mohon anugrah kehadapan Shang Hyang widhi Wasa semoga dengan selesainya pelaksanaan prosesi Entas-entas, maka yang punya hajat dan keluarga-keluarganya mendapatkan anugrah, pengayoman dan Roh (Atman) Leluhurnya memperoleh kesucian sehingga AtmanNya bisa menyatu dengan Parama Atman.
*Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Takim Wibowo, mahasiswa IHDN Denpasar dalam upaya menyelesaikan tugas Akhir skripsi sebagai persyaratan memperoleh gelar S1.