Languishing : Saat Tidak Bahagia, Tapi Juga Tidak Sedih

NM. Adnyani

Pernahkah merasa hidup berjalan begitu saja—tidak ada yang salah, tapi juga tidak ada yang benar-benar menggembirakan? Seperti bangun tidur, menjalani hari, lalu tidur lagi… tanpa emosi yang berarti. Kamu tidak sedang sedih, tapi juga jauh dari bahagia. Jika iya, bisa jadi kamu sedang mengalami apa yang disebut dengan languishing.

Istilah ini mungkin terasa asing, tapi fenomenanya sangat nyata, terutama di era modern yang menuntut produktivitas terus-menerus sambil membatasi ruang untuk merasakan.

Apa Itu Perasaan Datar?

Perasaan datar, atau emotional flatness, sering kali muncul sebagai bagian dari languishing. Ini adalah kondisi emosional ketika seseorang merasa kosong secara batiniah. Tidak ada gelombang perasaan yang besar—tidak sukacita, tidak pula duka. Seolah-olah hidup kehilangan warna.

Fenomena ini tidak sama dengan depresi, karena kamu masih bisa menjalani aktivitas sehari-hari. Tapi kamu juga tidak sepenuhnya merasa hidup. Seperti menonton film hidupmu sendiri tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.

Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Kelelahan Emosional Tekanan yang konstan—baik dari pekerjaan, keluarga, atau ekspektasi diri sendiri—bisa membuat sistem emosional tubuh menekan perasaan demi bertahan. Rutinitas yang Terlalu Stabil Ironisnya, ketika segala sesuatunya terlalu stabil atau monoton, otak kita kehilangan stimulasi emosional. Kita merasa “kosong” bukan karena ada masalah besar, tapi karena tidak ada yang benar-benar memicu semangat hidup. Penumpukan Emosi yang Tidak Diekspresikan Menahan perasaan secara terus-menerus membuat emosi menjadi tumpul. Akhirnya, tubuh dan pikiran seolah mematikan semua jenis emosi untuk menghindari kelelahan lebih jauh. Minimnya Koneksi Emosional Kurangnya percakapan bermakna, keterbukaan, dan koneksi dengan orang lain bisa membuat kita merasa seperti terisolasi secara emosional, meski tidak sendirian secara fisik.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menghadapi perasaan datar bukan tentang “memaksa bahagia”, tapi tentang pelan-pelan membuka kembali saluran emosi yang mungkin sudah lama tertutup. Berikut beberapa langkah kecil yang bisa kamu coba:

1. Perhatikan Momen Mikro

Latih diri untuk menyadari hal-hal kecil yang menyenangkan—bau hujan, rasa teh hangat, suara daun bergesekan. Sadari dan nikmati momen itu walau hanya beberapa detik.

2. Tulis Apa yang Kamu Rasakan

Journaling atau menulis bebas tanpa sensor bisa membantu mengeluarkan emosi yang tersembunyi. Tidak harus indah—yang penting jujur.

3. Bergerak Secara Sadar

Olahraga ringan seperti berjalan kaki sambil fokus pada napas dan gerakan tubuh bisa membantu menyatukan kembali tubuh dan emosi.

4. Coba Hal Baru, Sekecil Apa pun

Kebaruan bisa menyalakan kembali pusat kenikmatan dalam otak. Cobalah hal baru—mendengarkan genre musik yang tidak biasa, menggambar meski tidak pandai, atau sekadar duduk di tempat yang berbeda.

5. Bicara, Bukan Curhat Berat

Koneksi emosional tidak selalu harus dalam. Obrolan ringan dengan teman, canda receh, atau sekadar berbagi cerita bisa cukup untuk memantik kembali perasaan.

Menemukan Arti dari Yang Datar

Tidak merasa sedih memang bisa menenangkan, tapi tidak merasa bahagia bisa menjadi peringatan halus dari jiwa yang perlu diperhatikan. Perasaan datar bukan pertanda lemah—justru itu sinyal tubuhmu meminta ruang, perhatian, dan sentuhan yang lebih lembut.

Menghadapi languishing bukan soal melompat ke kebahagiaan besar, tapi melangkah perlahan ke arah kesadaran, koneksi, dan kebermaknaan. Dan itu semua bisa dimulai dari hal kecil—hari ini juga.

Mengapa Rasionalitas Sering Dibajak oleh Emosi?

NM.Adnyani

Pernahkah kamu mengambil keputusan yang kemudian disesali, hanya karena saat itu kamu sedang marah, takut, atau terlalu senang? Tenang, kamu tidak sendiri. Fenomena ini sangat umum dan bahkan menjadi bagian alami dari cara kerja otak manusia. Meski kita sering menganggap diri kita makhluk rasional, kenyataannya emosi punya pengaruh besar dalam cara kita berpikir dan bertindak. Lalu, mengapa rasionalitas bisa begitu mudah dibajak oleh emosi?

Otak Emosional Lebih Cepat Merespons

Otak manusia terdiri dari berbagai bagian, salah satunya adalah sistem limbik—rumah bagi emosi. Salah satu komponen utamanya, amigdala, bertanggung jawab terhadap respon cepat terhadap ancaman atau stimulus emosional. Sementara itu, bagian otak yang bertugas berpikir logis—korteks prefrontal—bekerja lebih lambat dan mempertimbangkan informasi dengan lebih hati-hati.

Dalam situasi darurat, otak emosional “menyalip” otak rasional agar tubuh dapat bereaksi dengan cepat. Ini berguna dalam konteks bertahan hidup, tapi bisa jadi masalah ketika kita menghadapi tantangan sosial atau keputusan penting dalam hidup modern.

Evolusi Lebih Memihak Emosi

Selama ribuan tahun evolusi, manusia bertahan hidup bukan hanya karena kepandaian berpikir, tetapi juga karena kemampuan merespons secara emosional terhadap bahaya. Takut membuat kita menjauh dari ancaman. Marah membuat kita berani melawan. Senang mendorong kita untuk mengulangi sesuatu yang menguntungkan.

Emosi, dalam hal ini, adalah sistem navigasi cepat yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Sayangnya, di era sekarang, sistem ini sering kali bekerja dalam konteks yang berbeda dari tujuan awalnya—seperti ketika kita panik karena notifikasi ponsel atau merasa terancam oleh komentar di media sosial.

Emosi Meninggalkan Jejak Lebih Dalam

Pernah mengalami satu kejadian yang sangat menyakitkan atau membahagiakan dan terus mengingatnya selama bertahun-tahun? Itu karena emosi memperkuat memori. Ketika situasi serupa terjadi, otak kita langsung mengaitkannya dengan pengalaman emosional sebelumnya, dan ini memengaruhi keputusan kita—seringkali tanpa kita sadari.

Emosi Mengejar Kepuasan Instan

Rasionalitas sering berurusan dengan masa depan: menabung, menunda kesenangan, mengambil risiko yang diperhitungkan. Sebaliknya, emosi bekerja di saat ini. Ketika kamu sedang stres, sedih, atau lapar, otakmu mungkin mendorong untuk mengambil keputusan yang terasa baik sekarang, meski merugikan di kemudian hari.

Itulah mengapa kita sering tergoda untuk mengabaikan rencana jangka panjang demi kesenangan sesaat, seperti begadang nonton film padahal besok harus bangun pagi.

Kelelahan Mental Membuka Jalan untuk Emosi

Saat tubuh dan pikiran lelah, kemampuan berpikir rasional menurun. Di kondisi ini, otak akan menghemat energi dengan membiarkan sistem emosional mengambil alih. Itulah sebabnya keputusan buruk sering muncul ketika kita sedang capek, stres, atau kurang tidur.

Lalu, Apa Solusinya?

Meski kita tak bisa mematikan emosi, kita bisa belajar mengelolanya. Beberapa langkah seperti mindfulness, latihan pernapasan, menulis jurnal, hingga memahami pemicu emosional pribadi bisa membantu. Dengan mengenali bagaimana dan kapan emosi muncul, kita bisa menciptakan ruang jeda yang cukup agar rasionalitas sempat “bicara”.

Pada akhirnya, menjadi manusia bukan soal memilih antara logika atau emosi, tetapi bagaimana menyeimbangkan keduanya agar kita bisa membuat keputusan yang bijak, bukan sekadar reaktif.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai