VIDYALAYA : SEKOLAH, TEMPAT MEMBENTUK MANUSIA YANG SADHU GUNAWAN

Sebagai tenaga pengajar, sekaligus sebagai orang tua, sebagai pendidik pertama di rumah. Saya merasa cukup percaya diri untuk berbicara soal pendidikan.

Pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh banyak pemerhati, pelaku pendidikan ataupun oleh filosof, bahwa pendidikan adalah upaya nyata untuk “mendidik” manusia. Menjadikan manusia itu berpendidikan, berpengetahuan, bebas dari buta huruf dan sampai pada kesimpulan yang lebih meluas yaitu bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia

Memanusiakan manusia?

Apakah ketika seorang anak manusia lahir belum manusiawi? Dan meskipun seseorang telah bebas dari buta huruf, telah berpengetahuan dan bahkan berpendidikan tinggi, mengapa ia belum manusiawi? Yang bagaimana manusiawi itu?

Apakah setelah melalui proses pendidikan, seseorang itu menjadi manusiawi? Pada kenyataannya bahwa manusia yang keluar dari lembaga – lembaga pendidikan adalah manusia-manusia yang pandai bersaing, manusia2 yang pandai secara teori namun kering jiwanya, sehingga banyak sekali anak – anak kita yang cerdas, hiperaktif mengejar sesuatu namun semakin gelisah, semakin tegang dan semakin stress. Banyak contoh tentang hal ini.

Apakah hal ini sepenuhnya kesalahan pada guru, orang tua, atau pada system pendidikan kita?

“Kenapa sistem pendidikan kita selama ini belum berhasil? Salah satu alasannya adalah karena kita berasumsi bahwa setiap anak yang lahir di dunia bak papan tulis yang masih bersih—tinggal kita tulisi agama, etika dan moralitas di atasnya.

“Padahal tidak demikian. Penemuan-penemuan ilmiah di bidang biologi dan psikologi membuktikan bahwa anak bayi yang baru lahir pun sudah memiliki sifat dasar. Kita perlu tahu sifat dasar anak yang baru lahir. Kemudian pendidikan yang diberikan kepada anak itu harus sesuai dengan kebutuhannya.

“Bila seorang anak bayi memiliki keinginan untuk membunuh sebagai sifat dasarnya, terlebih dahulu keinginan itu harus diselesaikan lewat proses pelembutan jiwa. Baru diajarkan agama, etika dan moralitas. Bila tidak, ia akan membunuh atas nama agama. Ia akan melakukan kekerasan atas nama etika dan moralitas.”  (Krishna, Anand. (2004).Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Para pujangga yang berada di wilayah Peradaban Sindhu – dari Aaryan atau Iran hingga Astraalaya atau Australia – berpendapat bahwa manusia ‘belum jadi’. la masih dalam proses ‘menjadi’ atau ‘penjadian’. Manusia lahir dengan potensi untuk mengungkapkan kemanusiaannya secara sempurna. la lahir bersama benih kemanusiaan. Pun Keberadaan menyediakan seluruh bahan baku, sarana dan apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang pengungkapan kemanusiaan itu. Namun, adalah kesadaran awal manusia yang dibutuhkan untuk meracik bahan baku yang telah tersedia dan menggunakan sarana yang dibutuhkan untuk mengungkapkan jati-dirinya – kemanusiaannya.

 

“Pendapat ini ‘terdengar’ beda dari pendapat lain yang mengatakan bahwa manusia lahir dalam dosa, karena dosa, atau mewarisi dosa-asal. Padahal tidak juga. Apa yang disebut dosa, oleh para pujangga kita, disebut ketaktahuan. Dosa atau Dosha adalah kekeliruan, Kesalahan, Kesalahpahaman, Kekhilafan. Dan, dapat diatasi. Agama, bagi para pujangga kita, adalah sarana untuk mengatasi dosha-dosha manusia. Maka, ia tidak bekerja sendiri secara otomatis. la harus dilakoni. Tidaklah cukup jika kita mengaku sudah beragama, atau mencantumkan agama tertentu dalam kolom KTP kita.

“Agama diharapkan untuk memperluas pandangan kita, menjernihkan pikiran kita, dan melembutkan batin kita, jiwa kita. Dan, ketika pandangan kita menjadi luas, pikiran kita menjadi jernih dan batin kita menjadi lembut – maka, Kita baru menyadari ketaksempurnaan diri kita!

“Ya, itulah tugas awal agama. Membuat kita sadar akan ketaksempurnaan diri. Kemudian, mendorong kita untuk menggapai kesempurnaan, untuk meraih kesempurnaan. Sekaligus memandu kita dalam perjalanan.”  (Krishna, Anand. (2007). Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan. Pustaka Bali Post)

Terlepas dari segala paradigma yang ada di bidang pendidikan, beberapa sadhana atau disiplin spiritual yang dapat dilakoni, agar ia mampu mengungkap kemanusiaan di dalam dirinya. Hal ini mesti dilakukan secara terus menerus terutama sekali di vidyalaya2…

  1. Bhakti

“Krsna mengaitkan bhakti atau pemujaan, panembahan, devosi, dengan kasih. Bhakti, yang biasa diterjemahkan sebagai berbakti, mengabdi, atau memuja – sesungguhnya, memiliki makna yang jauh lebih dalam. Bhakti adalah semua itu plus dengan penuh kasih. Landasannya adalah kasih, kasih yang tak bersyarat dan tak terbatas.

Bhakti mesti berlandaskan cinta-kasih tanpa batas dan tanpa syarat. Ditambah lagi dengan kata ananya – berarti, dengan segenap jiwa, raga, perasaan, pikiran, intelegensia, semuanya terpusatkan. Dengan kesadaran tunggal. Termasuk, ia tidak lagi memisahkan profesi, pekerjaan, kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, lingkungan, dan lainnya dari bhaktinya, dari pemujaannya.”  (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)

  1. Shreya

Bhagavad Gita 9:14: “Demikian mereka senantiasa memuliakan Aku; berupaya untuk menyadari kehadiran-Ku di mayna-mana; dan selalu berlindung pada-Ku dengan keyakinan yang teguh. Sesungguhnya, mereka telah bersatu dengan-Ku dalam meditasi, puja-bakti, dan panembahan mereka, yang sepenuhnya terpusatkan pada-Ku.”

“Apa yang kita inginkan dari dan dalam hidup ini? Jika kita menginginkan Ananda atau Kebahagiaan Sejati – maka tidak ada jalan lain, metode lain kecuali satu – yaitu, berkesadaran Jiwa. Jiwa adalah kekal, karena ia tidak pernah berpisah dari Jiwa Agung. Perpisahan adalah ilusif, khayalan, imaginer, yang kemudian merosotkan kesadaran kita dan mengalihkannya ke badan dan indra.

“Sebagian diantara kita mengagung-agungkan emosi – bahwasanya, jika emosi kita ditingkatkan maka, apa pun yang kita kehendaki akan terjadi. Bisa, tapi jangan lupa, sifat emosi adalah naik-turun, pasang-surut, kadang panas, kadang dingin. Mustahil kita bisa mempertahankan emosi di suatu level, suatu tingkat tertentu untuk selamanya.

“Dapatkah kita mempertahankan air pada 100 derajat celcius? Mustahi. Begitu mencapai 100 derajat celcius, air langsung menguap, mulai menguap. Emosi memiliki korelasi dengan air. Emosi dikendalikan oleh elemen air di dalam diri kita. Pun demikian di luar diri kita, di alam sekitar kita. Air laut, air sungai – semuanya adalah pusat-pusat emosi di dunia ini.

“Demikian pula dengan emosi manusia – Makin tinggi, jatuhnya pun makin hebat, makin dahsyat – makin menyakitkan!

“Level emosi yang tinggi, yang dikaitkan dengan kebahagiaan atau keceriaan, sesungguhnya hanyalah kesenangan sesaat. Emosi tidak pernah dan tidak bisa menghasilkan kebahagiaan sejati.

“Emosi tidak dapat, tidak mampu menggapainya. Adalah kesadaran Jiwa, yang berasal dari sanubari terdalam atau bhava ‘saja’ yang dapat membahagiakan Jiwa.

“Memuliakan-Nya berarti senantiasa memuliakan Kesadaran Jiwa, Jiwa Agung; serta menempatkan-Nya di atas kebutuhan-kebutuhan raga, indra dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu dipenuhi. Kebutuhan indra, badan – semuanya mesti diladeni dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, Jiwa tidak ikut bahagia. Kebahagiaan Jiwa datang dari kesadaran akan hakikat dirinya.”  (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita.Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)

  1. Upavasa

Dalam keadaan lapar kita tersembuhkan dari berbagai macam penyakit. Karena itu ‘puasa’ dianjurkan. Hampir semua agama dan semua tradisi menganjurkannya. Sayangnya, kadang maksudnya tak dipahami dengan baik. masyarakat masih belum bisa memahami kebenaran di balik puasa, puasa pun dikaitkan dengan pahala dan kewajiban.

“Puasa memang penting. Puasa adalah satu-satunya cara untuk mengistirahatkan mekanisme tubuh kita. Khususnya mekanisme atau sistem pencernaan. Mekanisme yang satu ini berjalan terus tanpa henti. Mulut yang mengunyah hanyalah proses awal dari perencanaan yang terlihat jelas oleh mata. Di balik itu masih ada serangkaian proses lain yang tidak terlihat oleh mata dan memakan waktu lebih lama.

“Saat tidur pulas tanpa mimpi, kita terbebaskan dari pikiran. Demikian pula saat meditasi. Pada saat itu pun, proses pencernaan tidak pernah berhenti. Terdeteksi atau tidak, ia berjalan terus. Saat tidur pulas dan dalam keadaan meditasi pun, ia berjalan terus.

“Badan butuh istirahat, dan itu antara lain bisa dipenuhi dengan puasa. Kendati demikian, puasa bukanlah kebutuhan badan saja. Energi yang dibutuhkan oleh badan dan diperolehnya lewat makanan dan minuman digunakan pula oleh otak untuk berpikir, dan oleh jiwa untuk merasakan sesuatu. Karena itu, saat badan berpuasa, pikiran dan perasaan pun ikut berpuasa.

“Manusia mendengar dengan sepasang telinga, melihat dengan mata, mencium dengan hidung, dan merasakan dengan kulitnya. Bagi telinga, apa yang terdengar itulah makanan dan minuman.

“Bagi mata, apa yang dilihatnya itulah makanan dan minuman. Bagi hidung, apa yang tercium adalah makanan dan minuman. Dan, bagi kulit apa yang dirasakannya itulah makanan dan minuman.

“Setiap indra yang melakukan kegiatan makanan dan minum juga membutuhkan puasa. Setiap indra membutuhkan istirahat. Mereka membutuhkan waktu untuk mencerna dengan baik apa yang telah diterimanya.”  (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Seorang pembicara yang baik adalah seorang pendengar yang baik, karena saat mendengar sesungguhnya ia sedang ‘puasa bicara’. Saat itu, ia sedang mencerna apa yang terdengar olehnya.

“Dan, seorang pendengar yang baik adalah seorang pembicara yang baik, karena ia telah mencerna dengan baik apa yang didengarkannya. Ia memiliki energi yang cukup untuk menyuarakan isi hatinya.”  (Krishna, Anand. (2006). Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan, karya terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

  1. Tapa

“Untuk meminimalkan keinginan dan mengendalikan diri dibutuhkan energi yang luar biasa. Karena itu, pengendalian diri harus dimulai dari usia muda, saat energi kita masih prima. Upaya untuk mengendalikan diri di usia senja hampir tidak pernah membawa hasil. Energi yang dibutuhkan sudah tidak ada. Sedikit energi yang tersisa akan terbuang begitu saja, sia-sia, tanpa hasil.

“Persis seperti saat melakukan perjalanan ke traveling ke Bali atau kemana saja. Bila tidak mengendalikan diri dari awal dan tidak membatasi shopping, beberapa hari menjelang akhir perjalananan, kita gelisah sendiri: ‘Wah, banyak amat tentengan di tanganku! Pasti kena excess baggage.’ Saat check in pun sudah deg-degan. Untuk apa mencari masalah? Kendalikan diri sejak awal, dan perjalananmu akan berakhir aman dan nyaman. Beban yang kita rasakan dalam hidup ini timbul karena ulah kita sendiri.

“Kurangi beban keinginan selagi kita masih sadar dan masih mampu mengendalikan diri. Saat ajal tiba, bila beban keinginan tidak berkurang, menderitalah jiwa kita. Jiwa dengan beban keinginan sulit berpisah dari badan. Walau sudah dikubur, ia masih gentayangan ini yang disebut penderitaan alam kubur.

“Apa yang kita lakukan terhadap anak kita selama ini? Kita hanya membebani mereka dengan keinginan-keinginan baru, padahal sejak lahir pun mereka memikul beban lama. Ada keinginan lama untuk ‘membunuh’ yang belum selesai, kita membebani mereka dengan keinginan untuk menjadi ‘orang saleh’. Hasilnya apa? Mereka menjadi pembunuh berkedok orang saleh.”  (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Kesadaran awal manusia membebaskan dirinya dari arogansi, dari keangkuhan, dari kesombongan: ‘Ternyata penglihatan seekor elang lebih tajam dari penglihatanku. Ternyata indera penciuman seekor anjing lebih berkembang dari indera penciumanku. Kepekaanku pun kurang dari kepekaan ikan-ikan di laut. Pun, pikiranku, mind-ku masih berkembang. Perkembangannya masih belum selesai. Pengetahuanku masih sangat terbatas.

“Saat itu juga, la terbebaskan dari ketergantungan pada logika. Jadi, bila ada orang yang mengaku sudah beragama tapi masih tergantung pada logika – maka, para pujangga kita akan menasehatinya: ‘Pergilah nak, ber-tapa-lah. Lakukan introspeksi diri. Ketergantunganmu itu sudah benar atau tidak.’

“Tapa bukanlah ‘Tapa-Brata’ modern, dimana kita memisahkan diri dari keramaian dan melakukan perenungan, kontemplasi, meditasi, semedi, atau apa pun sebutannya. Kata Ta dalam Tapa adalah Tyaag – Melepaskan. Apa pula yang dilepaskan? Adalah ego, keakuan, keangkuhan yang kita lepaskan. Adalah ketergantungan pada logika dan pikiran, mind, yang kita lepaskan.”  (Krishna, Anand. (2007). Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan. Pustaka Bali Post)

Diterbitkan oleh Ni Made Adnyani

Aku suka Menulis, aktifitas Mengajar dan Yoga

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: