Sumber gambar: google
Marilah kita berdoa sebelum membaca Bhagavad Gītā
Oṁ Saha nāvavatu; saha nau bhunaktu; Saha vīryam karavāvahai; Tejasvi nāvadhītamastu; Mā vidviṣāvahai; Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ
(Semoga Hyang Tunggal senantiasa melindungi kita; menjernihkan pikiran kita: semoga kita dapat berkarya bersama dengan penuh semangat; semoga apa yang kita pelajari mencerahkan dan tidak menyebabkan permusuhan; Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah kita semua.)
yato yato niścarati manaś cañcalam asthiram
tatas tato niyamyaitad ātmany eva vaśam nayet
Bhagavad Gītā, 6.26
“Dengan menarik gugusan pikiran serta perasaan – yang senantiasa liar dan bergejolak – dari segala objek maupun keadaan di luar yang dapat menggodanya, hendaknya seorang Yogī memusatkan seluruh Kesadaran pada dirinya sendiri (Kesadaran Jiwa sebagai percikan Sang Jiwa Agung).”
Fokus pada dirimu sendiri, pada Jiwa, pada percikan Sang Jiwa Agung, Jiwa Abadi, Jiwa Sejati yang bersemayam di dalam diri. Inilah Meditasi.
JIKA SULIT MEMUSATKAN KESADARAN pada diri sendiri, Maka bisa menggunakan sarana japa pada Hyang Maha Kuasa. Jika sulit merasakan kehadiran-Nya di dalam diri, maka pusatkan kesadaran pada Dia Sebagai Penguasa Tunggal Alam Semesta.
Sesungguhnya menuju Tuhan di luar diri adalah lebih sulit dan membuang waktu. Namun, Jika memang conditioning kita sejak kecil adalah Tuhan Sebagai Penguasa Surga dan berada di lapisan langit tertinggi, jauh di atas sana, maka Apa Boleh Buat?
Silahkan memusatkan kesadaran pada Tuhan yang berada di luar diri yang meliputi semesta termasuk diri kita. Pada suatu ketika, setelah mengelilingi entah berapa banyak konstelasi perbintangan dan menjelajahi sebagian dari semesta yang Maha luas – kita akan lelah sendiri – dan mulai mencari-Nya di dalam diri. Ini adalah suatu keniscayaan.
MENGHARAMKAN PEMICU DI LUAR DIRI malah menambah godaan. Budaya yang menahan hasrat seks misalnya, malah melahirkan kebiasaan-kebiasaan seksual yang tidak normal. Pun demikian dengan arak.
Dengan mengharamkannya, kita hanya menyuburkan black-marketing dan memberi peluang bagi Para pedagang untuk menjualnya secara sembunyi-sembunyi.
Sebab itu kita mesti menarik diri dari segala pemicu – objek, orang, maupun keadaan – dengan “kesadaran sendiri” – sehingga tidak Ada yang dapat menggoda kita lagi.
Jika pemicu-pemicu tersebut diharamkan, Maka…
“PENARIKAN DIRI” PUN IKUT TERHARAMKAN – kita malah tidak bisa menarik diri. Seseorang yang diharamkan mengkonsumsi arak di negerinya, menjadi mabuk tak tanggung-tanggung ketika Baru naik pesawat menuju negara lain. Dalihnya, “saya sudah melewati kawasan udara dan batas negeri yang mengharamkan arak. Disini tidak lagi.” Maka Ia pun meminum arak Tanpa Kendali, seolah hendak balas dendam atas puasa-arak selama Ia berada di negerinya.
Menarik diri dari godaan-godaan di luar, berarti…
ADA ARAK, TAPI SAYA TIDAK TERGODA OLEHNYA – Ada segala macam pemicu di luar – tapi Saya tidak terangsang. Namun, itu Baru langkah pertama. Setelah menarik diri, pikiran serta perasaan, seluruh kesadaran mesti diarahkan, dibelokkan ke diri sendiri, kepada Jiwa yang adalah percikan Sang Jiwa Agung.
Langkah kedua ini tidak kalah penting, sehingga gugusan pikiran serta perasaan yang sudah di Tarik itu memiliki pekerjaan lain, supaya Ia tidak liar kembali.
Banyak yang menganjurkan langkah kedua Tanpa mewajibkan langkah pertama. Inilah alasan utama kegagalan dalam Hal pengendalian diri. Kemudian Mereka yang sedang berupaya demikian, malah menjadi munafik. Japamala di tangan, ucapan-ucapan Suci di bibir – tapi api nafsu membara di dalam diri.
Om, Sarve bhavantu sukhinaḥ; Sarve santu nirāmayāḥ; Sarve bhadrāṇi paśyantu; Mā kashchit duḥkha bhāgbhavet; Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ
(Semoga semua makmur, bahagia dan bebas dari penyakit. Semoga semua mengalami peningkatan kesadaran, dan bebas dari penderitaan. Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah kita semua.)
Bontang, 13/02/2018-MA
Ditulis ulang dari Buku Bhagavad Gītā oleh AK