Catatan Sunyi Tentang Cinta dan Pengabdian

NM. Adnyani

Tadi malam aku bermimpi jadi pembantu rumah tangga. Anehnya, mimpi itu tidak terasa menyedihkan. Aku justru merasa damai. Dalam mimpi itu, aku menggendong seorang anak kecil—anak dari majikanku. Tapi rasanya seperti anakku sendiri. Ia menempel padaku, menyusu pada perhatianku, tertawa di pelukanku. Aku menjaganya dengan lembut, dan ia mempercayakan dirinya sepenuhnya padaku.

Lalu majikanku memberiku baju baru. Sebuah bentuk penghargaan, katanya, karena aku merawat anaknya dengan baik. Aku merasa senang, bukan karena bajunya, tapi karena niat baik di balik pemberian itu. Setelah itu, kami pergi ke toko sepatu. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba majikanku menghilang. Aku berdiri sendiri di tempat asing, memegang baju baru itu, tapi tidak tahu harus ke mana.

Mimpi itu masih lekat di kepalaku. Dan pagi ini aku duduk merenungkannya, mencoba memahami—sebab aku yakin, mimpi seperti itu bukan datang tanpa alasan.

Mungkin mimpi itu bukan soal jadi pembantu dalam arti harfiah. Tapi tentang peran yang sering aku ambil dalam hidup: menjadi penopang, pengasuh, pengatur, penenang—bagi orang-orang di sekelilingku. Entah dalam keluarga, pekerjaan, atau dalam hubungan yang lebih dalam, aku sering ada untuk orang lain. Aku menggendong beban, menjaga agar semuanya tetap berjalan baik. Dan aku melakukannya dengan cinta.

Tapi sering kali, peran itu tak terlihat. Orang hanya tahu semuanya “berjalan lancar”, tanpa tahu siapa yang berlari-lari di belakang layar.

Baju Baru: Hadiah atau Cermin Diri?

Pakaian baru dalam mimpiku terasa seperti simbol. Aku merasa dihargai. Tapi lebih dari itu, aku merasa diingatkan—bahwa dalam setiap pengabdian yang aku jalani, aku juga sedang tumbuh. Bahwa aku bukan hanya seseorang yang menjaga kehidupan orang lain tetap utuh, tapi aku juga pantas menerima sesuatu yang baru: jati diri, penghargaan, ruang untuk berkembang.

Terkadang kita perlu diberi “baju baru”—baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri—sebagai pengakuan bahwa kita telah berubah.

Bagian paling menggugah dari mimpi itu adalah saat majikanku menghilang. Aku sedang hendak membeli sepatu. Dan tiba-tiba, aku sendirian. Sepatu, dalam banyak tafsir mimpi, melambangkan arah hidup. Dan bisa jadi, mimpi itu sedang menunjukkan bahwa saatnya aku memilih langkahku sendiri.

Mungkin aku sudah cukup lama berjalan mengikuti arah hidup orang lain. Mungkin aku sudah cukup lama “menggendong”, hingga lupa bahwa aku juga perlu berjalan. Sekarang, aku berada di titik itu: memilih sepatu, memilih arah, memilih cara melangkah dengan caraku sendiri.

Yang paling membuatku tersentuh dari mimpi itu adalah perasaanku terhadap anak kecil itu. Aku tidak pernah merasa terbeban. Aku merawatnya dengan sepenuh hati, dan ia membalas dengan kedekatan yang tulus. Ada cinta yang diam, tapi kuat. Dan itulah yang sering terjadi dalam hidup—aku mencintai dalam diam, menjaga dalam senyap, memberi tanpa pamrih. Kadang aku lupa bahwa itu bukan kelemahan. Itu adalah kekuatanku.

Mimpi tadi malam mengajarkanku banyak hal—tentang bagaimana aku melihat diriku, bagaimana aku merawat orang lain, dan bagaimana aku harus mulai merawat diriku sendiri.

Kadang peran-peran yang sunyi itulah yang justru membentuk kita. Bukan dari sorotan, tapi dari ketulusan. Dan mungkin sekarang saatnya aku melihat peranku dengan mata yang berbeda. Bukan sekadar menjadi penopang, tapi juga menjadi pribadi yang layak dipeluk, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh.

Aku ingin mulai memilih sepatuku sendiri. Melangkah bukan karena disuruh, tapi karena aku tahu, aku juga berhak memiliki arahku sendiri.

Pelayanan Dalam Sunyi

Catatan Sunyi Tentang Cinta dan Pengabdian

NM. Adnyani

Tadi malam aku bermimpi jadi pembantu rumah tangga. Anehnya, mimpi itu tidak terasa menyedihkan. Aku justru merasa damai. Dalam mimpi itu, aku menggendong seorang anak kecil—anak dari majikanku. Tapi rasanya seperti anakku sendiri. Ia menempel padaku, menyusu pada perhatianku, tertawa di pelukanku. Aku menjaganya dengan lembut, dan ia mempercayakan dirinya sepenuhnya padaku.

Lalu majikanku memberiku baju baru. Sebuah bentuk penghargaan, katanya, karena aku merawat anaknya dengan baik. Aku merasa senang, bukan karena bajunya, tapi karena niat baik di balik pemberian itu. Setelah itu, kami pergi ke toko sepatu. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba majikanku menghilang. Aku berdiri sendiri di tempat asing, memegang baju baru itu, tapi tidak tahu harus ke mana.

Mimpi itu masih lekat di kepalaku. Dan pagi ini aku duduk merenungkannya, mencoba memahami—sebab aku yakin, mimpi seperti itu bukan datang tanpa alasan.

Mungkin mimpi itu bukan soal jadi pembantu dalam arti harfiah. Tapi tentang peran yang sering aku ambil dalam hidup: menjadi penopang, pengasuh, pengatur, penenang—bagi orang-orang di sekelilingku. Entah dalam keluarga, pekerjaan, atau dalam hubungan yang lebih dalam, aku sering ada untuk orang lain. Aku menggendong beban, menjaga agar semuanya tetap berjalan baik. Dan aku melakukannya dengan cinta.

Tapi sering kali, peran itu tak terlihat. Orang hanya tahu semuanya “berjalan lancar”, tanpa tahu siapa yang berlari-lari di belakang layar.

Baju Baru: Hadiah atau Cermin Diri?

Pakaian baru dalam mimpiku terasa seperti simbol. Aku merasa dihargai. Tapi lebih dari itu, aku merasa diingatkan—bahwa dalam setiap pengabdian yang aku jalani, aku juga sedang tumbuh. Bahwa aku bukan hanya seseorang yang menjaga kehidupan orang lain tetap utuh, tapi aku juga pantas menerima sesuatu yang baru: jati diri, penghargaan, ruang untuk berkembang.

Terkadang kita perlu diberi “baju baru”—baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri—sebagai pengakuan bahwa kita telah berubah.

Bagian paling menggugah dari mimpi itu adalah saat majikanku menghilang. Aku sedang hendak membeli sepatu. Dan tiba-tiba, aku sendirian. Sepatu, dalam banyak tafsir mimpi, melambangkan arah hidup. Dan bisa jadi, mimpi itu sedang menunjukkan bahwa saatnya aku memilih langkahku sendiri.

Mungkin aku sudah cukup lama berjalan mengikuti arah hidup orang lain. Mungkin aku sudah cukup lama “menggendong”, hingga lupa bahwa aku juga perlu berjalan. Sekarang, aku berada di titik itu: memilih sepatu, memilih arah, memilih cara melangkah dengan caraku sendiri.

Yang paling membuatku tersentuh dari mimpi itu adalah perasaanku terhadap anak kecil itu. Aku tidak pernah merasa terbeban. Aku merawatnya dengan sepenuh hati, dan ia membalas dengan kedekatan yang tulus. Ada cinta yang diam, tapi kuat. Dan itulah yang sering terjadi dalam hidup—aku mencintai dalam diam, menjaga dalam senyap, memberi tanpa pamrih. Kadang aku lupa bahwa itu bukan kelemahan. Itu adalah kekuatanku.

Mimpi tadi malam mengajarkanku banyak hal—tentang bagaimana aku melihat diriku, bagaimana aku merawat orang lain, dan bagaimana aku harus mulai merawat diriku sendiri.

Kadang peran-peran yang sunyi itulah yang justru membentuk kita. Bukan dari sorotan, tapi dari ketulusan. Dan mungkin sekarang saatnya aku melihat peranku dengan mata yang berbeda. Bukan sekadar menjadi penopang, tapi juga menjadi pribadi yang layak dipeluk, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh.

Aku ingin mulai memilih sepatuku sendiri. Melangkah bukan karena disuruh, tapi karena aku tahu, aku juga berhak memiliki arahku sendiri.

Pelayanan Dalam Sunyi
Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai