NM. Adnyani

Hari ini saya mengikuti sebuah webinar nasional yang mengangkat sebuah karya tulis ekologis berjudul Benteng Penjaga Danau Batur. Buku ini dibedah oleh beberapa narasumber inspiratif, dan bagi saya, dua nama pembahas yang sangat bagus adalah Ida Bagus Wika Krishna dan I Gede Suwantana. Dari paparan mereka, saya tidak hanya diajak memahami isi buku, tetapi juga menelusuri makna terdalam dari air sebagai sumber kehidupan, serta tantangan besar kita dalam menjaganya.
Paparan demi paparan membawa saya pada satu kesadaran: air bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga unsur suci yang menopang kehidupan spiritual dan budaya kita. Kita menyebut air dengan berbagai nama sakral — tirtha, toya, amrta — sebagai simbol penyucian jiwa dan raga. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kita justru menyaksikan berbagai bentuk eksploitasi dan pengabaian terhadapnya: pencemaran sumber air, pengalihfungsian danau dan mata air untuk kepentingan pariwisata masif, serta menurunnya rasa hormat terhadap kesakralan alam.
Di sinilah Benteng Penjaga Danau Batur menjadi bukan sekadar cerita, melainkan peringatan. Bahwa ketika manusia lupa pada relasi spiritualnya dengan alam, maka yang lahir bukan lagi kemakmuran, tetapi kehancuran.
Antroposentrik Menuju Ekosentris
Salah satu hal yang menggelitik kesadaran saya adalah cara kita memaknai Tri Hita Karana. Selama ini, konsep ini kita kenal sebagai Parahyangan – hubungan manusia dengan Tuhan, Pawongan – hubungan manusia dengan sesama, Palemahan – hubungan manusia dengan alam.
Namun dalam praktiknya, pendekatan ini sering kali bersifat antroposentrik. Alam diposisikan sebagai objek yang bisa dimanfaatkan sejauh memberi keuntungan bagi manusia. Kita sering lupa bahwa palemahan bukan hanya ‘lahan’, tetapi entitas hidup yang memiliki ruh, martabat, dan peran spiritual.
Paparan dari webinar ini menyentil kesadaran saya: sudah saatnya kita menafsirkan Tri Hita Karana secara ekosentris — di mana alam tidak berada di bawah manusia, melainkan setara sebagai sesama ciptaan Tuhan. Bahkan bisa juga secara teosentris, bahwa menjaga alam adalah bagian dari bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Langkah Konkret di Dunia Pendidikan
Sebagai pendidik, saya menyadari bahwa transformasi ekologis tidak akan berarti tanpa peran dunia pendidikan. Kesadaran saja tidak cukup; perlu diikuti dengan langkah konkret. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan dalam konteks sekolah dan pembelajaran:
1. Integrasi Nilai Ekologis dalam Pembelajaran
Menghubungkan materi pelajaran dengan isu lingkungan lokal. Menjadikan danau, mata air, atau sungai sebagai objek belajar dalam berbagai mata pelajaran, baik agama, bahasa, IPS, bahkan seni.
2. Menanamkan Perspektif Ekosentris dalam Tri Hita Karana
Mengajak siswa melihat alam sebagai “sesama makhluk ciptaan”, bukan “sumber daya”. Menulis jurnal, esai, atau puisi tentang pengalaman mereka dengan alam sekitar.
3. Proyek dan Aksi Nyata
Melakukan aksi lingkungan: bersih-bersih sungai, dan menanam pohon
4. Penguatan Budaya Sekolah Ramah Lingkungan
Membentuk komunitas “Penjaga Alam” di sekolah. Membuat peraturan atau kebiasaan kelas yang mencerminkan nilai-nilai keberlanjutan. Menerapkan prinsip reduce-reuse-recycle dalam aktivitas sehari-hari.
5. Keteladanan Guru sebagai Agen Perubahan
Menampilkan gaya hidup yang sederhana, sadar lingkungan, dan spiritual. Menyisipkan pesan ekologis dalam dharma wacana atau kegiatan keagamaan sekolah. Berkolaborasi dengan komunitas lokal dalam proyek lingkungan.
Menjadi Benteng Penjaga Itu Tanggung Jawab Bersama
Benteng Penjaga Danau Batur memberi saya pelajaran penting: menjaga alam bukan tugas satu dua orang, tapi panggilan kolektif. Terutama bagi kita yang bekerja di dunia pendidikan, tanggung jawab ini menjadi bagian dari misi kita untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga arif dan welas asih terhadap alam.
Karena pada akhirnya, menjaga danau, menjaga air, menjaga alam — adalah menjaga kehidupan itu sendiri.




