NM. Adnyani

Ada dua tipe manusia yang terlihat sangat berbeda, namun keduanya menyimpan kecemasan yang sama. Yang pertama, menganggap dirinya penuh dosa, tak layak, dan selalu merasa bersalah. Yang kedua, merasa dirinya mulia, berbudi, dan sering membanggakan pencapaiannya. Sekilas bertolak belakang, namun keduanya terjebak dalam jerat pikiran sendiri. Mereka cemas, gelisah, dan jauh dari damai.
Mengapa demikian?
Karena keduanya hidup di dalam penghakiman. Yang satu menghukum diri, yang lain memuja diri. Keduanya tidak benar-benar melihat diri apa adanya, melainkan melalui lensa mental yang bias dan penuh beban. Keduanya membutuhkan hal yang sama: kepuasan mental. Dan itu tidak datang dari penilaian, pujian, atau penyesalan. Itu hanya bisa ditemukan dalam keheningan batin—dalam meditasi.
Sathya Sai Baba mengatakan bahwa pemahaman akan tumbuh dari meditasi, dan dari pemahaman itu lahir kebijaksanaan. Tetapi meditasi bukan sesuatu yang bisa diraih hanya karena tahu bahwa itu penting. Harus ada keinginan yang menyala. Keinginan itu harus kuat, lebih kuat dari kemalasan, lebih besar dari keraguan, dan lebih tahan dari segala bentuk godaan untuk lari.
Keinginan untuk berubah adalah benih dari usaha. Tanpa keinginan, tidak ada gerak. Tanpa usaha, keinginan tetap angan. Maka dalam setiap langkah meditasi, kita sesungguhnya sedang menjawab pertanyaan terdalam dari hidup: siapkah aku mengenali diriku sendiri, tanpa topeng dosa dan tanpa bayang mulia?
Meditasi tidak menuntut kita menjadi orang lain. Ia hanya meminta kita diam, jujur, dan hadir. Di situlah pemahaman lahir, bukan karena kita diberi tahu, tapi karena kita melihat sendiri.
Dan ketika kita mulai melihat, kecemasan pun memudar.
Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk mengalami kedamaian. Kita hanya perlu hadir sepenuhnya dalam keheningan, dalam keinginan tulus untuk mengerti diri.


