
Aku menghabiskan banyak waktu untuk berinteraksi dengannya. Aku menaruh banyak kepercayaan padanya. Aku berharap semuanya akan semakin baik, semakin melengkapi. Tetapi ternyata rumus kehidupan tidak seperti itu. Kebahagiaan selalu berpasangan dengan kesedihan, dan harapan kadang tidak berujung pada kenyataan yang diinginkan.
Kesedihan dan kekecewaan datang bertubi-tubi, seperti ombak yang tak henti-hentinya menghantam tebing. Kadang aku bertanya, apakah aku harus berhenti hidup? Apakah luka ini cukup untuk membuatku menyerah dalam perjalanan menemukan kebahagiaan?
Di benakku, pertanyaan-pertanyaan tajam menyelinap, seolah sedang menguliti diriku sendiri. Aku mulai meragukan segalanya: Apa yang benar-benar penting? Jika sebuah harapan sudah sirna, apa pula yang bisa diharapkan dari sebuah hubungan?
Apa itu hubungan? Mengapa ia selalu membawa begitu banyak persoalan? Apakah hubungan hanya sekadar ruang bagi dua orang untuk berbagi, ataukah justru cermin yang memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya?
Apa itu hubungan tanpa status? Hubungan di mana dua orang saling terhubung, saling berbagi, tetapi tak ada nama untuknya. Sebuah keterikatan yang samar, tanpa kepastian, tetapi tetap memberikan rasa nyaman dan juga luka.
Apa itu hubungan terlarang? Sebuah hubungan yang tak seharusnya ada, yang disembunyikan dari dunia, yang dipenuhi dengan rahasia dan batas-batas moral yang terus dipertanyakan.
Apa itu hubungan resmi? Hubungan yang diakui oleh dunia, yang memiliki struktur, yang dianggap sah di mata orang lain. Tetapi apakah status dan pengakuan itu benar-benar menjamin kebahagiaan?
Pada akhirnya, semua ini hanya tentang label. Tentang bagaimana manusia memberi nama pada sesuatu yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi apakah label benar-benar penting? Ataukah kita hanya menggunakannya untuk mencari validasi? Untuk merasa bahwa hubungan itu nyata, bahwa keberadaan kita dalam kehidupan seseorang memiliki arti?
Namun, yang lebih penting dari sekadar label adalah apa arti hubungan itu bagi diri kita sendiri. Apakah hubungan itu membuat kita tumbuh, atau justru menghancurkan kita? Apakah kehadiran seseorang membuat kita menjadi lebih baik, atau malah menjadikan kita lebih rapuh?
Mungkin hubungan bukan sekadar tentang status atau pengakuan. Hubungan adalah tempat di mana kita belajar tentang diri sendiri—tentang harapan, tentang luka, tentang bagaimana kita menghadapi perasaan yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita.
Jika hubungan itu melukai, haruskah aku pergi? Jika harapan sudah pupus, apakah masih ada yang bisa diperjuangkan?
Aku belum menemukan semua jawabannya. Tapi aku tahu satu hal: aku tak ingin berhenti berlatih mengasihi. Aku tak ingin berhenti percaya bahwa di balik luka, ada pelajaran. Dan di balik kekecewaan, ada ruang bagi pertumbuhan.
Aku masih di sini, mencari makna dari semua ini.

