JEJAK LUKA, CAHAYA CINTA (Sebuah Perjalanan Menuju Kedamaian Diri)

NM.Adnyaninatha

Di kota kecil bernama Laksana, kabut pagi menyelimuti jalanan seperti tirai tipis yang melindungi rahasia-rahasia yang belum terungkap. Di sebuah apartemen kecil, Prema duduk termenung di sudut ruang tamunya. Secangkir teh yang telah dingin berada di meja kecil di depannya, sementara ponselnya tergeletak tanpa suara.

Prema mengingat kembali awal mula hubungannya dengan Nitya. Mereka bertemu di sebuah seminar pendidikan, di mana Nitya menjadi pembicara utama. Lelaki itu, dengan gaya bicara yang santai dan kecerdasan yang memikat, membuat Prema merasa nyaman. Mereka mulai berteman, dan dalam percakapan mereka yang panjang, Prema merasa ia menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirinya.

Namun, hubungan itu tidak pernah lebih dari sekadar pertemanan. Prema selalu menjaga batas-batasnya, apalagi setelah mengetahui bahwa Nitya telah menikah dengan Pur.

Manipulasi Nitya dan Rasa Insekuritas Pur

Persahabatan mereka awalnya terasa murni. Tapi semakin lama, Prema mulai menyadari sisi lain dari Nitya. Lelaki itu sering menghubunginya, mencari perhatian dengan cara-cara yang membuat Prema merasa bimbang.

“Aku hanya merasa nyaman berbicara denganmu,” kata Nitya suatu malam. “Kamu membuatku merasa hidup kembali.”

Prema beberapa kali memutuskan komunikasi, memblokir nomor Nitya di ponselnya. Tapi Nitya selalu menemukan cara untuk kembali. Dengan nada suara yang lembut tapi tegas, ia memohon agar Prema membuka pintu komunikasi lagi.

“Kamu satu-satunya teman yang bisa membuatku merasa tenang,” katanya. Prema, yang merasa iba, akhirnya selalu mengalah.

Namun, di sisi lain, Pur mulai mencium hubungan ini. Bukan karena ada cinta di antara Nitya dan Prema, tetapi karena rasa insecure Pur terhadap hubungan suaminya dengan wanita lain.

Pur sering menghubungi Prema secara diam-diam, dengan pesan-pesan penuh amarah dan tuduhan.

“Kamu tahu dia sudah menikah, kan? Apa yang sebenarnya kamu inginkan darinya? Apakah kamu menginginkan uang darinya? Kamu wanita yang ga punya harga diri

Kata-kata itu terasa seperti pukulan bagi Prema. Ia tidak pernah ingin menjadi alasan keretakan rumah tangga orang lain. Tapi Nitya, dengan manipulasi halusnya, selalu membuat seolah-olah Prema-lah yang mengejarnya. Padahal, kebenarannya justru sebaliknya.

Kehancuran dan Keputusan

Malam itu, setelah menerima pesan tajam dari Pur, Prema merasa muak. Ia duduk di sudut kamarnya, menatap ponselnya dengan campuran amarah dan kesedihan.

“Kenapa aku selalu terjebak di sini?” bisiknya. Ia mengingat kembali semua usaha yang ia lakukan untuk menjauh, namun ditarik kembali oleh Nitya dengan janji-janji kosong.

Namun, Prema tahu, ini bukan hanya tentang Nitya atau Pur. Ini tentang dirinya sendiri. Tentang keberaniannya untuk mengatakan tidak dan melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang.

Ia membuka buku catatannya dan mulai menulis. Setiap kalimat yang ia torehkan adalah pelampiasan, sekaligus refleksi. Dalam tulisannya, ia tidak hanya mencatat luka, tetapi juga pelajaran.

“Aku bukan orang ketiga. Aku tidak mengejarnya. Aku hanya seorang teman yang terjebak dalam permainan manipulasi. Tapi sekarang, aku memilih untuk keluar. Bukan demi mereka, tetapi demi diriku sendiri.”

Perjuangan untuk Bangkit

Prema menyelesaikan cerita pendeknya, Jejak Luka, Cahaya Cinta, dan membacanya berulang kali. Cerita itu bukan hanya tentang Nitya dan Pur, tetapi juga tentang dirinya—tentang keberaniannya untuk menemukan kedamaian di tengah badai.

Ketika Tara mengundangnya untuk berbicara di komunitas public speaking, Prema merasa ragu. Tapi ia tahu, inilah saatnya untuk berbagi.

Di depan mikrofon, dengan suara yang tenang tapi penuh emosi, Prema berkata, “Cerita ini bukan hanya tentang luka, tapi tentang harapan. Tentang bagaimana kita bisa memilih untuk sembuh, bahkan ketika orang lain mencoba menarik kita kembali ke dalam kegelapan.”

Pur mungkin akan terus mencoba menunjukkan kekuatannya, tapi Prema tahu bahwa kekuatan sejati ada pada dirinya sendiri—pada keberaniannya untuk mencintai dirinya, melepaskan luka, dan melangkah maju.

Mengurai Luka, Mencari Makna

Prema duduk di sudut kecil ruang makan yang remang, hanya ditemani suara denting sendok bertemu piring. Perasaannya berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menekan dadanya. Setiap suapan makanan terasa hambar. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, mengingat bahwa keputusan yang ia buat tadi adalah hasil dari banyak pertimbangan. Namun, pikirannya terus berputar, menari-nari di antara harapan dan ketakutan.

Air matanya jatuh perlahan, tanpa suara. Ia cepat-cepat mengusap pipinya, takut jika pelayan di restoran itu memperhatikan. Namun, ketika tangis mulai menjadi deras, ia menyerah dan meletakkan sendoknya. Rasa sakit di hatinya terlalu dalam untuk diabaikan.

“Kenapa aku seperti ini? Bukankah aku sudah memutuskan?” gumamnya pada dirinya sendiri. Tapi jawabannya tak pernah datang. Seolah-olah dunia ini enggan memberikan kepastian, seperti lingkaran takdir yang kembali menghantuinya.

Setelah beberapa saat, Prema memutuskan untuk keluar dari restoran. Udara malam menyambutnya, dingin dan segar. Langkah kakinya membawanya tanpa arah, hingga ia tiba di taman kota. Di sana, suara gemericik air mancur seakan berbicara lembut padanya, menawarkan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh siapa pun.

Saat ia duduk di bangku taman, bayangan masa lalu kembali menyeruak. Keputusan yang ia buat hari ini tak lain adalah bagian dari sebuah siklus. Lingkaran yang terus ia jalani tanpa pernah benar-benar memahaminya. Keputusan tentang cinta, keluarga, dan pengorbanan – semua terasa terulang. Kali ini ia memilih jalan yang berbeda, tapi mengapa rasanya sama saja? Seperti ia hanya menukar satu beban dengan beban lain.

“Mengapa emosi ini belum usai? Mengapa seolah-olah sumber kehidupan dan semangat itu hanya pada dia? Mengapa aku ingin cepat-cepat mengusir rasa sedih ini?” pikirnya dengan getir.

Nitya. Nama itu kembali menyayat hatinya. Nitya bukan hanya sekadar bagian dari masa lalunya, Pria itu, yang dulu menjadi sosok inspirasi dalam hidupnya, ternyata tega menghancurkan kepercayaan yang begitu sulit ia bangun.

“Bagaimana bisa seseorang yang begitu penting bagiku menjadi sumber dari semua rasa sakit ini?” tanya Prema dalam hati. Perasaan pengkhianatan bercampur dengan penghinaan membuat hatinya terasa terkoyak.

Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat seorang pria tua dengan jubah panjang. Pria itu berdiri di dekat air mancur, memperhatikannya. Mata pria itu tajam, namun penuh kehangatan. Seolah-olah dia tahu persis apa yang Prema rasakan.

“Mengapa kau gelisah, anak muda?” tanyanya lembut.

Prema terkejut, namun entah mengapa ia merasa tidak takut. Ia merasa pria itu adalah seseorang yang bisa ia percayai. Dengan suara bergetar, ia mulai bercerita tentang semua yang terjadi – tentang keputusan yang ia buat, keraguan yang menggerogotinya, rasa bersalah yang tak kunjung hilang, dan luka mendalam akibat pengkhianatan Nitya.

Pria tua itu mendengarkan dengan seksama, tak sekali pun memotong pembicaraannya. Ketika Prema selesai, pria itu tersenyum tipis.

“Lingkaran takdir memang terasa tak berujung, seperti spiral yang terus memutar. Namun, tahukah kau? Setiap putaran itu sebenarnya membawa kita lebih dekat ke tengah. Pada akhirnya, hanya ada satu titik pusat yang harus kau temukan,” katanya.

Prema mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata pria itu.

“Titik pusat itu adalah dirimu sendiri, Prema. Kau terus mencari jawaban di luar, padahal jawaban itu ada di dalam. Kau takut pada keputusanmu karena kau belum sepenuhnya percaya pada hatimu. Ketika kau menerima dirimu, kau akan tahu bahwa apa pun yang terjadi, semuanya adalah bagian dari perjalananmu.”

Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam di hati Prema. Ia menyadari bahwa selama ini ia memang terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia selalu mencoba menyenangkan orang lain, mencoba membuat keputusan yang dirasa benar untuk semua orang, tapi lupa pada dirinya sendiri.

Pria tua itu menepuk bahunya dengan lembut. “Jangan takut dengan lingkaran takdir. Kadang kita harus berputar beberapa kali sebelum akhirnya mengerti maknanya.”

Sebelum Prema sempat bertanya lebih banyak, pria itu melangkah pergi, menghilang dalam kegelapan malam. Prema duduk di sana, merenungkan semuanya. Angin malam membawa rasa dingin yang perlahan menghangat di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan – sebuah cahaya kecil di ujung labirin yang ia jalani.

“Aku akan mencoba,” katanya pada dirinya sendiri. “Mencoba memahami diriku lebih baik.”

Dan malam itu, meskipun ia masih merasa berat, Prema tahu ia telah mengambil langkah pertama untuk keluar dari lingkaran takdirnya.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai