Rindu yang Tak Bertepi: Menanti Hadirmu di Setiap Helai Waktu

Rinduku padamu terasa seperti angin malam yang mengalun pelan tapi menusuk, menyusup masuk ke relung hati tanpa permisi, menyisakan rasa yang penuh tapi tak bisa kuungkapkan sepenuhnya. Kasih sayangku ini dalam dan diam seperti lautan yang tak terukur, di permukaan mungkin tampak tenang, tapi di kedalamannya bergemuruh ombak yang kuat, tak sabar untuk sampai ke tepi.

Aku merasa seperti dedaunan yang tak berdaya tertiup angin, yang selalu ingin kembali ke dahan yang menjadi tempatnya berpulang—seperti rinduku yang selalu ingin kembali ke dalam hangatnya dekapmu. Setiap kali aku mengingatmu, dadaku sesak, seakan ada ribuan kata yang mendesak ingin keluar, tetapi tetap terpenjara, terhalang jarak yang memisahkan. Rinduku padamu adalah hujan yang turun di tengah kemarau panjang, membawa kesejukan sekaligus kepedihan, sebab meski air mata kerinduan ini tak pernah berhenti mengalir, aku masih tak bisa mendekapmu dalam nyata.

Engkau bagai bintang di langit malam, hadir dengan cahayamu yang indah namun jauh, membuatku terpikat, namun tak pernah bisa kugapai. Rasanya hatiku ini seperti bulan yang kehilangan sinarnya, menunggu matahari untuk kembali menyentuh, hanya untuk bisa bersinar di dekatmu. Setiap detik yang berlalu menjadi pengingat betapa rindu ini menunggu dan menunggu, seakan-akan waktu berjalan pelan dan membawa beban, semua demi menanti saat ketika aku bisa melihatmu lagi.

Ketika Waktu Membeku: Indahnya Hidup di Momen Itu

Ada masa di mana kenangan hadir layaknya aroma bunga yang muncul seiring angin senja, membawa kita kembali pada tiap rasa, tiap melodi yang pernah menyertai perjalanan itu. Seperti simfoni yang mengalun di kedalaman malam, kenangan kita hidup, menghiasi setiap sudut hati, menyuguhkan manisnya perasaan yang dulu terasa abadi.

Gambar hanya ilustrasi

Dulu, bersama kita menjalani momen-momen itu, seperti daun yang menari bersama angin—tanpa rencana, tanpa kecemasan. Dalam kebersamaan itu, tak ada bayang masa depan yang perlu dikhawatirkan, tak ada luka dari masa lalu yang perlu dibawa. Ada keindahan dalam kehadiran murni, saat seolah dunia berhenti berputar, memberikan panggung pada kita untuk merasakan setiap detik yang bergulir.

Bersamamu, waktu seakan memudar. Hanya ada “now here,” di mana segala rasa hadir tanpa syarat, tanpa batas. “No where” menjadi “now here,” dua kata yang terlihat serupa tetapi menyimpan perbedaan besar: ketika kita sungguh hidup di sini dan sekarang, saat itu pula kita menikmati kedamaian yang tak ternilai. Di tengah keheningan momen itu, hadirnya dirimu menjadi laksana lilin yang menerangi ruang hati, menuntun setiap langkah dengan cahaya lembutnya.

Di sebuah perempatan jalan di Pagi hari

Setiap kata yang terucap, tiap sentuhan yang hadir, bagaikan riak kecil di permukaan air danau—mungkin terlihat sederhana, tapi menciptakan gelombang yang mencapai jauh ke dalam. Kata-kata manis yang dulu terucap tak hanya sekadar bunyi, melainkan nada dalam simfoni keindahan, yang terus berdenting di relung ingatan, memberi rasa hangat pada hati yang kini sendiri.

Maka, ketika kenangan kembali, aku menyambutnya dengan penuh syukur, karena setiap momen itu mengajarkanku untuk merasakan hidup sepenuhnya. Seperti embun yang mengkristal di ujung daun saat pagi, kenangan ini menanti untuk disentuh, untuk dihirup dalam-dalam, lalu perlahan dilepaskan. Kini, meski waktu terus berjalan, kenangan itu tetap utuh, menanti untuk dikenang kapan pun hati ini rindu akan keindahan masa itu.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai