Di indonesia, aktivitas membaca buku pernah menjadi privelese golongan tertentu. Hanya kalangan priyayi saja yang bisa mengakses dan membaca buku. Tapi kini, siapa pun bisa melakukannya selama ia menginginkannya. Kendati begitu, membaca buku masih belum menjadi budaya di negeri kita. Membangun budaya membaca mesti dimulai dari perubahan paradigma berpikir, bahwa membaca adalah suatu kegiatan spiritual, kegiatan yang memberi spirit pada setiap individu. Kegiatan yang dilakukan secara rutin dan terus menerus akan membentuk kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan terus menerus membentuk karakter dan karakter yang baik akan menentukan masa depan generasi yang berkualitas. Kebiasaan dan karakter itulah yang membentuk nilai-nilai Budaya. Budaya yang baik dapat dibentuk. Dengan usaha yang keras, kita dapat membentuk budaya baru yang menunjang kehidupan di era modern ini. Bagi kita generasi penerus bangsa, hal-hal sederhana yang dapat dilakukan untuk mengisi kemerdekaan ini adalah dengan membangun karakter sendiri dengan menyerap dan melakoni hal-hal baik. Sebagaimana halnya makanan bagi tubuh, kita akan memilih makanan yang baik dan sehat, demikian halnya kita mesti memilih makanan bagi otak kita. Makanan terbaik untuk otak kita adalah buku. Buku adalah asupan yang sangat bergizi dan akan menjadi pemasok yang sangat berarti sebagaimana vitalnya makanan bagi tubuh kita. Seperti halnya makanan, ada yang bergizi dan ada yang tidak. Bukupun demikian.
Menyadari gempuran media audio-visual mutakhir yang menyuguhkan tampilan perpaduan antara warna, gambar, dan suara yang semakin menarik, menghibur, disadari atau tidak, menyedot perhatian masyarakat. Anak-anak yang memang menyukai hiburan jelas lebih memilih media tersebut daripada buku atau teks bacaan lain. Oleh karena itu, keluarga/masyarakat perlu menerapkan jam belajar keluarga/masyarakat. Dengan demikian, kegiatan belajar anak di rumah tidak hanya ada dalam suasana yang kondusif, tetapi juga terkontrol.
Pada era modern ini, arus informasi menjadi demikian cepat diterima oleh masyarakat dunia. Hal ini ditunjang oleh kecanggihan teknologi informasi saat ini. Berbagai gadget seperti smartphone, laptop telah menjadi kebutuhan penting dalam kehidupan masyarakat. Fenomena ini tidak hanya melanda masyarakat yang berada di kota besar, tetapi juga di daerah pedesaan. Arus informasi yang tidak dapat dibendung ini, harus diimbangi dengan karakter yang baik. Sebagaimana halnya pisau, akan berguna pada orang yang tepat dan fungsi yang tepat. Akan menjadi baik pada pengguna yang baik dan akan menjadi tidak baik pada pengguna yang tidak baik. Demikian halnya dengan arus informasi yang masuk mesti di saring oleh sang penerima informasi. Kita tidak dapat menghentikan arus informasi itu, tetapi yang dapat kita lakukan sebagai individu adalah membentengi diri dengan karakter yang baik. Karakter yang menunjang agar kehidupan menjadi berkualitas.
Melihat fenomena ini, para pendiri bangsa ini berduka melihat generasi penerusnya mengalami kemerosotan mental, kehilangan jati diri dan budaya bangsa. Oleh karenanya pendidikan sebagai ujung tombak pembentukan karakter anak bangsa mesti dibenahi. Pendidikan yang berorientasi pada aspek kognitif atau pengetahuan mesti dipagari oleh kecerdasan mental spiritual. Pembangunan mental pada generasi kita melalui pendidikan telah menjadi perhatian serius dari para pakar pendidikan. Atas dasar fenomena kemerosotan mental, pemerintah mencanangkan gerakan revolusi mental. Tidak hanya retorika, pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan memasuki tahun ajaran baru 2015/2016, Menteri Pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan mencanangkan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti. Ketentuan teknis mengenai gerakan itu, dituangkan lewat Permendikbud No. 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai dan karakter positif para peserta didik lewat serangkaian kegiatan harian dan periodik yang bersifat wajib maupun pilihan di lingkungan sekolah. Salah satu program penumbuhan budi pekerti itu, adalah program penumbuhan potensi unik dan utuh pada setiap peserta didik. Kegiatan wajibnya adalah menggunakan 15 menit sebelum pembelajaran dimulai untuk membaca buku non mata pelajaran.
Merujuk kepada Permendikbud tersebut, Di SMA Negeri 1 Bontang, pada tahun pelajaran 2015/2016 ini, kini berupaya memfokuskan diri pada penumbuhan budi pekerti siswa dengan melaksanakan berbagai program. Salah satunya adalah program penumbuhan potensi unik dan utuh dengan cara melaksanakan pembiasaan aktivitas membaca pada peserta didik. Pembiasaan aktivitas membaca ini wajib dilakukan setiap hari. Bahan bacaan yang mesti dibaca siswa adalah bacaan non mata pelajaran. Tujuan utama dari pembiasaan membaca adalah agar tumbuhnya minat baca pada diri peserta didik. Membaca adalah aktivitas yang membutuhkan ketelitian mata dan fokus pada pikiran. Informasi yang diterima peserta didik adalah “bonus” dari pembiasaan membaca, sehingga peserta didik tidak diperkenankan untuk “meminjam” informasi dari temannya. Peserta didik dituntut untuk membaca sendiri artikel yang telah disiapkan. Kategori bacaan yang dapat dijadikan bahan bacaan ditentukan oleh sekolah seperti majalah, novel, jurnal, profil sekolah lain, informasi beasiswa, informasi perguruan tinggi dan biografi para tokoh-tokoh yang sukses. Tema tersebut ditentukan dengan memperhatikan kebutuhan peserta didik agar memiliki dinamika berpikir kritis dan up to date serta menumbuhkan motivasi diri untuk maju. Peserta didik menyiapkan sendiri bahan bacaannya dengan pembagian kelompok dalam setiap kelas. Ditentukan jadwal pembawa bahan bacaan dan dipantau melalui jurnal pemantauan pembawa bahan bacaan. Bahan bacaan yang sudah dibawa disimpan di kelas dan dibaca oleh setiap peserta didik. Pemantauan aktivitas membaca dilakukan melalui catatan sebuah jurnal membaca yang diisi sendiri oleh setiap siswa. Nilai kejujuran sangat dibutuhkan, setiap siswa dituntut jujur apakah ia membaca atau tidak membaca. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat melakukan hal-hal baik sehingga terbentuk kebiasaan yang baik.
Program ini bukan tanpa hambatan, banyak peserta didik pada kelas-kelas tertentu, aktivitas membacanya 0%, artinya tidak melakukan aktivitas membaca sama sekali. Namun SMA Negeri 1 berupaya keras untuk membangun budaya membaca ini, dengan memberi pemahaman pada setiap peserta didik di setiap kelas, berkomunikasi dengan para wali kelas, memanggil ketua kelas untuk memastikan dikelas ada aktivitas membaca, dan membuat daily report (laporan harian) berupa analisa jumlah pembaca setiap harinya. Pembiasaan membaca ini adalah sesuatu yang sangat baru di sekolah ini, pembiasaan membaca, cinta membaca, menulis adalah tuntutan masa depan generasi ini. Baru-baru saja Kota Bontang ini, dinobatkan sebagai kota cerdas. Kota cerdas, generasi cerdas, adalah generasi yang mencintai ilmu pengetahuan, generasi yang suka membaca.
Pembiasaan perlu dilakukan tidak hanya di lingkungan sekolah, di lingkungan keluarga sebagai pendidik pertama dan utama memiliki peran yang sangat besar. Semestinya di masa kini, setiap rumah tidak hanya dilengkapi dengan ruang keluarga yang nyaman dan mewah, tetapi juga ruang baca yang nyaman dan memiliki koleksi buku-buku bacaan. Minat baca anak sejatinya sudah bisa dipupuk sejak usia dini, tanpa harus menunggunya bisa membaca dan dewasa. Membuat anak mencintai buku bukanlah hal yang mudah. Namun, bukan berarti hal itu mustahil dilakukan. Dibutuhkan pembiasaan, kesabaran, dan komitmen antara kedua orang tua untuk mewujudkannya. Membuat anak mencintai buku merupakan investasi terbaik bagi setiap orang tua. Darisanalah anak-anak (peserta didik) akan belajar banyak hal untuk bekal hidup di kemudian hari.
artikel ini telah dimuat pada Koran harian Lokal
Bontang Post, edisi Sabtu, 29 Agustus 2015