Ketika Cinta Tergelincir: Mengapa Kita Lebih Mudah Menyalahkan Orang Ketiga?

NM. Adnyani

Ada momen dalam hidup yang terasa seperti dunia runtuh perlahan, bukan dengan ledakan, tetapi dengan keheningan yang memilukan: saat kita mengetahui bahwa seseorang yang kita cintai telah mencintai orang lain.

Dan dari sekian banyak reaksi emosional yang bisa muncul, satu yang paling sering terjadi adalah kita lebih mudah menyalahkan orang ketiga daripada pasangan kita sendiri.

Mengapa?

Mungkin karena jauh di dalam hati, masih ada cinta yang belum selesai. Masih ada harapan, bahwa ini hanya sementara, bahwa pasangan kita hanya tersesat, bukan sungguh-sungguh berpaling. Maka kita mencari sosok yang bisa dituduh, seseorang di luar hubungan ini yang bisa kita anggap sebagai penyebab keretakan.

Padahal…

Luka Terbesar Sering Datang dari yang Terdekat

Ada benturan hebat yang terjadi di dalam batin. Kepercayaan lama yang berkata, “Pasanganku mencintaiku dan tak akan berpaling,” tiba-tiba bertabrakan dengan kenyataan baru: “Pasanganku ternyata bisa mencintai orang lain.” Dan di sanalah lahir ketegangan yang disebut cognitive dissonance—sebuah konflik batin yang membuat kita goyah di dalam, namun tetap harus tampak tegar di luar.

Menunjuk orang luar sebagai penyebab, kadang adalah cara paling sederhana untuk menyelamatkan diri dari kepedihan yang lebih dalam. Kita tidak perlu langsung membenci pasangan, kita tidak perlu runtuh sepenuhnya. Cukup dengan berkata, “Ada orang lain yang datang dan merusak semuanya.”

Cinta, Harga Diri, dan Rasa Tak Cukup

Menyalahkan orang ketiga juga kadang lahir dari kebutuhan untuk menjaga harga diri. Kita tak ingin melihat diri sendiri sebagai seseorang yang dikhianati, tidak cukup menarik, atau kalah bersaing. Maka kita membuat narasi yang bisa menghibur ego kita: bahwa kita masih cukup baik, hanya saja ada yang datang dan mencuri perhatian pasangan.

Namun, sering kali itu hanyalah ilusi. Karena orang ketiga tidak datang tanpa celah. Ia hadir karena ada ruang yang tidak dijaga. Dan itu bukan hanya tentang salah siapa, tapi tentang apa yang telah lama tidak dibicarakan, tidak dipeluk, tidak dijaga.

Apa yang Ingin Kita Pertahankan?

Kadang kita menyalahkan orang luar bukan karena benar-benar percaya bahwa orang luar sepenuhnya bersalah, tetapi karena kita belum siap kehilangan. Kita masih ingin percaya bahwa hubungan ini bisa diselamatkan jika gangguan di luar berhasil disingkirkan. Padahal mungkin, luka sebenarnya sudah tumbuh jauh sebelum orang ketiga datang.

Dan mungkin… bukan tentang siapa yang salah, tetapi tentang apa yang telah hilang.

Keberanian untuk Melihat ke Dalam

Menyalahkan orang ketiga memang terasa lebih mudah. Tapi keberanian sejati adalah saat kita mampu melihat ke dalam diri dan hubungan kita sendiri, tanpa ilusi, tanpa pelarian.

Cinta dewasa tak lagi mencari kambing hitam. Ia belajar menerima kenyataan dengan hati yang lapang, meski perih. Ia tahu bahwa kehilangan kadang adalah awal dari kejujuran.

Dan mungkin, dari reruntuhan rasa percaya itulah, kita akan membangun sesuatu yang lebih jujur—entah bersama, atau sendiri.

Tulisan Ini aku susun berdasarkan pengalaman pribadiku, aku berhasil membebaskan diri dari upaya menyalahkan orang lain (baca orang ketiga). Aku lebih memilih melihat kenyataan Sebenarnya. Kejadian seperti ini terjadi juga di kehidupan Sekarang di masa lampau, tapi gaya berpikirku Tetap sama, memilih melihat kenyataan Sebenarnya yang ada di “dalam”

Aku juga terus menunggu dan menunggu sampai ku temukan yang paling tulus. Yang tidak Gaduh dengan dirinya sendiri.

Kepada Para Pembaca, Terima kasih sudah membaca tulisan ini, tulisan Ini mungkin tidak sejalan dengan pemikiran banyak orang, tapi Itulah yang aku alami dan lakukan. Aku lebih sering “membongkar” yang di dalam ketimbang “memaki” yang di luar

Pulang ke Kaliorang: Rumah, Rindu, dan Ritual

NM. Adnyani

Di rumah adik, di daerah trans Baru, nama jalannya jalan Terkini

Kecamatan Kaliorang, Kutai Timur – Kalimantan Timur

Perjalanan ke Kaliorang awal April ini tidak dimulai dengan kesiapan, melainkan dengan keraguan. Tanggal 1 April 2025, aku bangun terlambat, masih menggantung antara jadi berangkat atau tidak. Isu keamanan perjalanan dengan travel membuatku cemas, dan kondisi tubuh yang belum sepenuhnya fit membuat suamiku melarangku membawa kendaraan sendiri. Tapi anak-anak—dengan semangat mereka yang polos dan jujur—membuatku luluh. Mereka begitu bersemangat untuk pulang kampung, dan semangat itu menular.

Akhirnya, meski tanpa rencana yang matang, kami berangkat. Semua barang bawaan sudah disiapkan sebelumnya. Tepat pukul 12 siang, kami melaju, menyusuri jalan panjang menuju Kaliorang. Kali ini, dua kucing kesayangan kami, Koyen dan Krim, juga ikut dalam perjalanan. Dalam waktu lima jam tanpa henti, kami tiba. Jalanan sepi, dan mungkin itu yang mempercepat laju kami. Ini adalah kali kedua aku menyetir sendiri ke Kaliorang—perjalanan yang menuntut keberanian, namun juga membawa ketenangan.

Seperti biasa, aku membawa oleh-oleh: boneka-boneka untuk anak-anak di kampung, sepiring telur, bahan sayuran, dan empek-empek ikan tenggiri khas Bontang. Pulang ke kampung selalu terasa belum lengkap tanpa membawa sesuatu untuk dibagikan. Mungkin karena bagiku, memberi adalah bagian dari upaya menjaga hubungan—dengan keluarga, dengan kampung halaman, juga dengan diri sendiri.

Selama di Kaliorang, hari-hariku kuisi dengan mengunjungi rumah kakak, adik, paman, dan ipar. Di antara pertemuan itu, aku juga menyiapkan sesajen di rumah dan mengikuti rutinitas yang kini menjadi bagian dari identitasku—melakukan homa setiap sore bersama Ibu. Api yang kami nyalakan di altar bukan sekadar nyala fisik, tapi juga simbol cahaya batin, harapan, dan penghormatan.

Mereka lagi sangkep, para kelian banjar masyarakat bocil

Bagi anak-anakku, Kaliorang adalah dunia kecil yang penuh warna. Saat sepupu-sepupu mereka datang dan menginap, rumah berubah menjadi ruang riuh penuh tawa dan cerita. Namun menariknya, setiap pertemuan selalu diawali dengan keheningan yang canggung—tidak ada sapa, hanya diam dan pandang-pandangan malu-malu. Tapi satu atau dua jam kemudian, suasana mencair. Mereka bermain, tertawa, dan berbagi cerita hingga larut malam, seperti tidak pernah berpisah.

Salah satu momen paling berkesan bagi mereka adalah kegiatan Bhajan setiap hari Kamis di Ashram. Di sana, mereka menyanyikan lagu-lagu pujian untuk Guru dan Dewi, mengikuti alunan musik spiritual yang membawa kedamaian. Dalam rangkaian Bhajan itu, selalu ada meditasi cahaya—sebuah jeda hening yang menyatukan batin dalam keheningan kolektif. Ditutup dengan permohonan vibhuti, kegiatan ini menjadi pengalaman spiritual yang sangat berharga. Komunitas Bhajan seperti ini hanya ada di Kaliorang—sebuah oase rohani di tengah Kalimantan Timur.

Kaliorang bukan hanya tempat. Ia adalah ruang dalam diriku yang selalu mengingatkan akan akar, akan api, akan cinta yang tidak banyak bicara tapi terus menyala. Di sana, pulang bukan soal kembali ke lokasi, tapi soal kembali pada diri sendiri.

Dan dalam setiap perjalanan pulang, aku belajar lagi arti sederhana dari kehidupan: rumah yang menerima tanpa syarat, rindu yang menyambut diam-diam, dan ritual yang menjaga nyala jiwa tetap hidup.

Terima kasih telah menyempatkan waktu membaca catatan perjalananku ke Kaliorang—sebuah perjalanan yang mungkin sederhana, tapi menyimpan banyak makna bagi jiwa. Mungkin kamu juga punya kampung halaman yang memanggilmu diam-diam, atau punya kenangan akan ritual dan kebersamaan yang menghangatkan hati. Tulisan ini adalah undangan untuk kita semua: untuk pulang, ke tempat yang menenangkan, ke orang-orang yang mencintai kita, dan ke sisi batin yang sering kita abaikan di tengah hiruk pikuk dunia.

Jika kamu punya cerita pulangmu sendiri, aku akan senang sekali jika kamu membaginya. Karena setiap cerita tentang pulang, pada akhirnya adalah cerita tentang menjadi manusia.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai