Catatan Hati untuk Ayah yang Telah Tiada

Ketika Rindu Tak Pernah Selesai

Ayah,

Ida Pandita Agni Satya Dharma Laksana.

Sudah lebih dari satu tahun sejak kepergianmu, sejak dunia ini kehilangan sosok yang bagiku adalah cahaya dan pelindung. Tapi hari ini, aku merasakan rindu itu datang kembali… dengan deras, dengan dalam, dan dengan air mata yang tidak bisa kutahan.

Rindu ini datang tanpa alasan yang jelas. Hanya tiba-tiba memenuhi dada, seolah hatiku memanggilmu, memohon untuk dipeluk sekali saja oleh hadirmu yang kini hanya bisa kurasakan dalam kenangan.

Aku masih ingat betul—satu momen yang hangat, yang selalu tinggal di ingatanku. Saat aku pulang ke kampung, Ayah menyambutku dengan kegembiraan yang begitu tulus. Kau meneleponku berkali-kali, memastikan aku benar-benar datang. Suaramu waktu itu… penuh harap, penuh rindu. Dan ketika aku sampai, kau memasak sesuatu yang khusus untukku. Sederhana mungkin bagi dunia, tapi bagiku—itu adalah bentuk cinta paling murni yang pernah kurasakan.

Namun, ayah…

Ada satu hal yang terus mengganjal di hatiku. Saat itu, aku malah tidur di rumah mertua. Mungkin karena alasan waktu dan keadaan, tapi tetap saja aku menyesal. Aku tahu, kau pasti menunggu. Mungkin menatap pintu, berharap aku akan datang, duduk bersamamu, mengobrol seperti dulu. Tapi malam itu berlalu tanpa aku hadir di sisi tempatmu. Dan waktu tak pernah memberikan kesempatan kedua.

Ayah,

Kau wafat pada 18 Agustus 2022—bulan yang sama saat aku dilahirkan. Mungkin semesta sedang berbicara lewat waktu. Mungkin agar aku tak pernah lupa, bahwa ada cinta yang mengiringi langkah hidupku sejak awal, dan akan tetap bersamaku sampai akhir.

Hari ini, aku hanya bisa menulis… karena kata-kata adalah satu-satunya jembatan yang kutemukan antara dunia ini dan dunia tempatmu berada sekarang.

Aku ingin berkata:

Maaf, Ayah… atas waktu yang tak sempat kuberikan.

Terima kasih… atas cinta dan pengorbananmu yang tak pernah meminta imbalan.

Dan aku mencintaimu… lebih dari yang sempat terucap selama hidupmu.

Kini, aku hidup dengan rindu yang tak akan pernah selesai. Tapi aku tahu, dalam setiap langkahku, dalam setiap keputusan penting yang kuambil, dalam setiap doa yang kuucap—ada namamu, ada cintamu, ada doa-doamu yang diam-diam masih menuntunku.

Damailah di sana, Ayah.

Di sini, anakmu masih terus berjalan… membawa cintamu sebagai cahaya di setiap lorong hidup yang gelap.

—Anakmu,

yang selalu merindukan pulang

Saka Yoga Festival 2025: Nafas, Gerak, dan Pelayanan Suci

NM. Adnyani

Minggu pagi, 13 April 2025. Halaman parkir DPMPTSP—eks Kantor Wali Kota Bontang—berubah menjadi ruang batin yang hening dan hangat. Dari tempat yang biasanya dipadati kendaraan, kini tergelar matras-matras yoga yang menanti tubuh-tubuh hadir, jiwa-jiwa diam, dan nafas-nafas menyatu. Di sinilah Saka Yoga Festival digelar, sebagai bagian dari rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947 yang juga merupakan agenda nasional panitia Nyepi, dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.

Festival ini mengusung tema Manawasewa, Madhawasewa—pelayanan kepada sesama sebagai bentuk tertinggi dari pelayanan kepada Tuhan. Di Kota Bontang, kegiatan ini dilaksanakan dengan penuh semangat kolaborasi oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Bontang, didukung oleh WHDI, PERADAH, Pasraman Widya Buana, Paruman Walaka, dan Paruman Pinandita.

Sebanyak 77 peserta dari berbagai usia dan latar belakang hadir—anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Di bawah bimbingan instruktur Ni Made Adnyani dari Bhadra Yoga Sanstha, latihan yoga berlangsung dengan ritme lembut dan penuh kesadaran. Gerakan demi gerakan mengalir seperti doa, nafas menjadi pusat perhatian, dan tubuh menjadi wahana pelayanan—bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk sesama dan semesta.

Dalam sambutannya, Ketua PHDI Bontang, dr. I Wayan Santika menegaskan bahwa yoga adalah bentuk Sadhana—latihan spiritual yang menyucikan pikiran dan raga, sekaligus mendekatkan manusia pada kebijaksanaan hidup. Yoga, katanya, bukan sekadar gerak tubuh, tapi jalan sunyi menuju kedamaian batin.

Yang paling mengesankan dari festival ini adalah antusiasme para peserta. Sejak pagi, mereka berdatangan dengan penuh semangat. Ada yang datang bersama keluarga, ada pula yang datang sendiri namun tak merasa sendiri. Di antara gerakan yang pelan dan hening, terasa denyut kebersamaan yang kuat. Tidak ada kompetisi, tidak ada perbandingan—yang ada hanya kehadiran utuh dan kerendahan hati untuk belajar, menerima, dan berbagi.

Sebagai penutup, kegiatan diakhiri dengan pembagian doorprize yang disiapkan oleh ibu-ibu WHDI. Tawa dan kehangatan mengalir, menambah rasa syukur atas pagi yang sederhana namun penuh makna.

Saka Yoga Festival di Bontang adalah ruang kontemplatif sekaligus komunitatif. Sebuah momen untuk menyadari bahwa pelayanan bisa dimulai dari hal-hal yang tampak kecil: dari hadir sepenuh hati, dari satu tarikan nafas yang sadar, dari tubuh yang bersedia bergerak dalam doa. Yoga tak hanya menyehatkan, tetapi juga menyadarkan—bahwa pelayanan suci bisa dimulai dari dalam diri.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai