Melihat Masa Depan Bersama Anak-Anakku: Refleksi Perjalanan ke IKN

NM.Adnyani

Saat di Taman Kusuma Bangsa, kami di guyur Hujan. Jadi hujan-hujanan di sana dengan seru. Persis ala film India yang menari nari di bawah hujan

6 April 2025 menjadi tanggal yang akan selalu aku kenang sebagai momen sederhana namun bermakna. Hari itu, aku mengajak anak-anakku ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Bukan sekadar kunjungan wisata, tapi perjalanan yang penuh rasa syukur dan kebahagiaan. Mereka belum pernah ke sana sebelumnya, sementara aku sudah dua kali. Namun perjalanan kali ini terasa sangat berbeda—karena aku melihat IKN bukan dari mataku sendiri, tapi dari mata anak-anakku.

Perjalanan kami dimulai dari Kota Bontang. Untuk pertama kalinya, kami naik bus menuju Balikpapan. Biasanya, aku selalu menyetir mobil sendiri, tapi kali ini kami mencoba cara berbeda. Naik bus ternyata menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi kami sekeluarga. Anak-anak terlihat antusias, mungkin karena rasanya seperti “petualangan kecil” bagi mereka.

Setibanya di Balikpapan, kami melanjutkan perjalanan ke IKN menggunakan mobil pribadi yang memang biasa digunakan suamiku. Ia bekerja di Balikpapan, jadi kami memang menyimpan satu mobil di sana. Perjalanan darat ke IKN cukup lancar, dan perlahan-lahan pemandangan kota masa depan mulai terlihat di depan mata.

Kami menyusuri Sumbu Kebangsaan, berjalan di Taman Kusuma Bangsa, dan menikmati setiap sudut IKN yang kini sedang bertransformasi menjadi pusat pemerintahan Indonesia. Anak-anak terlihat terpukau. Salah satu dari mereka berseru, “Bund, ini kayak di Cina! Keren banget!” Aku tertawa kecil. Ya, bahkan anak-anak bisa merasakan nuansa megah dan modernnya kota ini.

Di tengah kekaguman itu, anak sulungku menatapku dan berkata dengan yakin, “Aku mau jadi dokter di IKN nanti.” Aku tersenyum haru. Tak ada kalimat panjang, hanya sebuah jawaban tulus dari hatiku, “Pasti akan ada pada masanya nanti. Tetaplah belajar.”

Perjalanan ini bukan sekadar menyaksikan bangunan tinggi, taman kota, atau deretan alat berat yang bekerja siang malam. Lebih dari itu, ini tentang harapan. Tentang memperlihatkan kepada anak-anak bahwa masa depan itu nyata, dan mereka punya tempat di dalamnya.

Sebagai ibu, aku merasa bahagia. Karena hari itu, aku tidak hanya mendampingi mereka melihat IKN—aku juga menjadi saksi tumbuhnya mimpi-mimpi kecil yang mungkin suatu saat akan menjadi nyata. Mungkin kelak, anakku benar-benar akan mengenakan jas dokter dan berjalan di jalanan kota ini, tak lagi sebagai pengunjung, tapi sebagai bagian dari penggeraknya.

Dan hari itu, dalam langkah-langkah kecil dan tawa kami, aku tahu: aku telah berada di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat—menemani mereka saat benih mimpi itu mulai tumbuh.

Terima kasih sudah membaca kisah kecil kami hari ini. Kadang, refleksi terbesar datang dari momen paling sederhana. Pernahkah kamu juga mengalami perjalanan yang membuka makna baru dalam hidupmu? Ceritakan di kolom komentar atau tulis kisahmu sendiri. Kita semua sedang menyusuri versi masing-masing dari “masa depan.”

“Kakak/Kakanda, Sebuah Sapaan Penuh Makna dalam Hubungan”

NM. Adnyani

Perayaan Nyepi selalu menjadi momen istimewa bagi siapa pun yang ingin menemukan makna dalam keheningan. Dalam ketenangan tanpa suara, kita sering kali lebih memahami pentingnya setiap kata yang pernah kita ucapkan.

Di tengah suasana Nyepi, saya merenungkan bagaimana bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk hubungan. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana dalam Kakawin Ramayana, Dewi Sita memanggil Rama dengan sebutan “kakanda.” Sebutan ini tampaknya sederhana, tetapi jika kita melihat lebih dalam, ia menyimpan filosofi yang menarik tentang cinta, penghormatan, dan kehangatan dalam hubungan.

Panggilan yang Berbeda di India dan Nusantara

Dalam Ramayana versi India, baik yang ditulis oleh Maharṣi Vālmīki maupun dalam adaptasi daerah seperti Kamban Ramayana (Tamil) dan Ramcharitmanas (Hindi), Sita tidak pernah memanggil Rama dengan sebutan “kakak” atau “kakanda.” Sebaliknya, ia menggunakan sapaan seperti “Aryaputra” (आार्यपुत्र) yang berarti “putra seorang bangsawan” atau “yang mulia.”

Panggilan ini mencerminkan hubungan mereka yang penuh hormat tetapi tetap romantis dalam tradisi India. Sita tidak hanya melihat Rama sebagai suaminya tetapi juga sebagai seseorang yang memiliki kebajikan tinggi dan layak dihormati.

Namun, ketika Ramayana diadaptasi dalam sastra Jawa dan Bali, terjadi pergeseran dalam cara Sita menyapa Rama. Sebutan “kakanda” atau “kakak” lebih sering digunakan, menyesuaikan dengan norma sosial dan bahasa sastra yang berkembang di Nusantara.

Mengapa Sita Memanggil Rama “Kakanda” di Nusantara?

1. Pengaruh Struktur Sosial Jawa dan Bali

Dalam budaya Jawa dan Bali, pasangan sering menggunakan panggilan yang mencerminkan hubungan hierarkis tetapi tetap lembut. Seorang istri bisa memanggil suaminya dengan “kakanda” sebagai bentuk penghormatan, bukan hanya berdasarkan usia tetapi juga status sosial dalam rumah tangga.

2. Konsep Hierarki dalam Pasangan

Dalam ajaran Hindu di Nusantara, suami sering dipandang sebagai pemimpin rumah tangga (gṛhastha). Panggilan “kakanda” mencerminkan bahwa Sita melihat Rama sebagai pelindung dan pemimpinnya, mirip dengan bagaimana seorang adik menghormati kakaknya.

3. Gaya Bahasa dalam Kakawin

Kakawin merupakan puisi klasik yang menggunakan bahasa Kawi (Jawa Kuno) dengan pengaruh dari Sanskrit. Dalam sastra klasik, panggilan seperti “kakanda” memiliki nuansa kehalusan dan estetika sastra yang lebih romantis dan lembut.

4. Makna Simbolis dalam Hubungan Rama-Sita

Rama dan Sita adalah simbol ideal pasangan suami-istri dalam ajaran Hindu. Penggunaan panggilan “kakanda” menekankan bahwa hubungan mereka tidak hanya bersifat duniawi tetapi juga spiritual—di mana Sita menghormati Rama sebagai pelindung dan penuntunnya.

Menariknya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak pasangan di Nusantara juga menggunakan panggilan “kakak” dalam hubungan mereka. Panggilan seperti “mas” di Jawa, “abang” di Sumatra, atau “kakanda” dalam bahasa sastra, semuanya mencerminkan rasa hormat dalam hubungan yang sejajar tetapi tetap mengandung kehangatan.

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cara kita membentuk hubungan. Panggilan “kakak” membawa nuansa perlindungan, kedekatan, dan rasa hormat yang manis. Dalam hubungan rumah tangga, sapaan ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta sejati adalah tentang merawat dan saling menguatkan, bukan hanya tentang kepemilikan.

Kisah Sita dan Rama sering kali dilihat sebagai gambaran ideal hubungan yang penuh kepercayaan dan kesetiaan. Dalam versi Nusantara, panggilan “kakanda” yang digunakan Sita kepada Rama mencerminkan keyakinan bahwa suaminya adalah tempatnya bernaung, tanpa mengurangi kepribadian dan keberanian Sita sendiri.

Di dunia modern, mungkin kita tidak selalu menggunakan panggilan klasik seperti “kakanda,” tetapi esensi dari penghormatan dalam hubungan tetap sama. Sebutan-sebutan yang kita pilih untuk pasangan kita memiliki kekuatan untuk memperkuat kedekatan atau justru merenggangkannya.

Saat Nyepi, kita menjalankan Catur Brata Penyepian, di mana salah satu aspek penting adalah mona brata—berdiam diri atau mengurangi bicara. Dalam keheningan ini, kita disadarkan bahwa setiap kata yang kita ucapkan memiliki makna. Kata bisa menyembuhkan, bisa mempererat hubungan, tetapi juga bisa melukai.

Dalam hubungan, panggilan kecil yang kita ucapkan sehari-hari bisa menjadi doa yang menghangatkan. Dalam satu kata, kita bisa menyampaikan penghormatan, kasih sayang, dan kepercayaan.

Seperti halnya Sita yang dengan lembut memanggil Rama sebagai “kakanda,” kita pun bisa memilih kata-kata yang menjadikan hubungan kita lebih bermakna.

Karena pada akhirnya, cinta bukan hanya tentang merasa memiliki, tetapi tentang bagaimana kita saling menyapa—dengan kelembutan, penghormatan, dan kasih yang tulus.

Om Tat Sat

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai