NM. Adnyani

Hari ini aku ingin menuliskan sesuatu yang datang dari perenungan, sekaligus penguatan bagi diriku sendiri sebagai orang tua. Aku bukan orang tua yang sempurna. Seperti banyak orang tua lainnya, aku juga masih sering belajar dari kesalahan, memperbaiki niat, dan berusaha untuk hadir secara utuh bagi anak-anakku.
Tapi dalam proses belajar itu, aku menemukan bahwa dalam ajaran Hindu, ada kedudukan yang sangat mulia bagi orang tua: Guru Rupaka—orang tua sebagai guru pertama yang menyucikan anak, bahkan sebelum sang anak mengenal dunia luar. Dan ini membuatku merenung lebih dalam: bagaimana sesungguhnya orang tua bisa menyucikan anaknya?
Ternyata jawabannya sederhana dan indah: dengan bicara, mendengar, menyentuh, dan mencintai anak secara utuh. Karena dalam dharma, ada empat cara menyucikan diri melalui orang suci:
1. Srawanam – mendengarkan orang suci,
2. Dharmatula – berdialog dengan orang suci,
3. Sparśanam – menyentuh orang suci, dan
4. Sevanam – melayani orang suci.
Jika orang tua adalah bentuk pertama dari orang suci dalam hidup seorang anak, maka keempat hal itu dapat dimulai di rumah—di ruang paling suci bernama keluarga.
1. Srawanam: Anak Menjadi Suci Melalui Nasehat Orang Tua
Seorang anak yang duduk diam mendengarkan orang tuanya bercerita, menasihati dengan lembut, atau bahkan membacakan cerita sebelum tidur, sedang menjalani proses srawanam—proses penyucian melalui mendengarkan.
Aku percaya, kata-kata orang tua yang dilandasi cinta, keikhlasan, dan pengalaman hidup, punya kekuatan jauh lebih besar daripada seribu ceramah formal.
Nasehat seperti:
• “Berbuat baik itu tak perlu ditonton orang lain.”
• “Kalau hatimu gelisah setelah menyakiti orang lain, itu pertanda dharma-mu terganggu.”
Kalimat-kalimat seperti itu akan hidup lama di hati anak. Bahkan ketika orang tuanya sudah tidak ada, kata-kata itu tetap bergaung dalam batinnya. Itulah kekuatan srawanam.
2. Dharmatula: Percakapan Sehari-hari yang Membawa Pencerahan
Bercakap-cakap dengan anak—baik tentang hal-hal sederhana maupun yang mendalam—adalah bentuk lain dari menyucikan. Ini bukan tentang memberi ceramah panjang lebar, tapi dialog yang penuh kehangatan. Mendengarkan pendapat mereka, bertanya tentang perasaan mereka, dan saling bertukar cerita.
Percakapan yang paling sederhana sekalipun, jika dilandasi kasih dan ketulusan, bisa membuka hati anak pada nilai-nilai dharma:
• “Apa yang kamu rasakan waktu dimarahi temanmu?”
• “Apa yang menurutmu bisa membuatmu lebih tenang?”
Itulah bentuk dharmatula—percakapan dharma antara dua jiwa, dalam keluarga.
3. Sparśanam: Sentuhan Cinta yang Menyucikan
Kadang, tanpa kata-kata pun, seorang anak bisa merasakan getaran cinta orang tuanya. Pelukan di pagi hari, belaian di kepala saat anak sedang lelah, genggaman tangan saat ia cemas, atau sekadar duduk berdekatan tanpa bicara. Sentuhan itu menyentuh bukan hanya tubuh, tetapi jiwa.
Dalam tradisi Hindu, sparśanam—menyentuh orang suci—dianggap sebagai bentuk menerima vibrasi positif dari mereka. Maka, ketika orang tua menyentuh anaknya dengan cinta, sebenarnya mereka sedang menyalurkan getaran kasih suci yang menyucikan.
4. Sevanam: Melayani Orang Tua dan Anak sebagai Jalan Bhakti
Sebaliknya, anak yang mulai tumbuh dan melayani orang tuanya dengan ketulusan—mengambilkan air, memijat saat kelelahan, atau sekadar membantu menyapu rumah—sedang menjalani proses sevanam. Tapi hal ini juga berlaku sebaliknya.
Orang tua yang merawat, mengasuh, bahkan bangun tengah malam demi anaknya, juga sedang mengabdi pada dharma keluarga. Di sana ada bhakti, dan bhakti adalah jalan menuju penyucian diri.
Sebagaimana sloka berikut
mātṛ devo bhava, pitṛ devo bhava, ācārya devo bhava, atithi devo bhava
(Taittirīya Upaniṣad 1.11.2)
“Jadikanlah ibumu sebagai dewa. Jadikanlah ayahmu sebagai dewa. Jadikanlah gurumu sebagai dewa. Jadikanlah tamumu sebagai dewa.”
Sloka ini bukan hanya mengajarkan penghormatan anak pada orang tua, tapi juga menjadi pengingat bagi para orang tua untuk terus menjaga kesucian dalam perilaku mereka, karena mereka tengah memainkan peran suci dalam kehidupan anak-anaknya.
Sebagai orang tua, aku tahu aku tak sempurna. Kadang suaraku meninggi, kadang aku kelelahan, kadang aku lalai memahami batin anakku. Tapi aku percaya, selama aku terus kembali pada niat baik dan belajar dari cinta, maka setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi “orang suci” bagi anak-anakku.
Menyucikan diri dan menyucikan anak bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang terus menyalakan cahaya kecil dalam rumah tangga kita—dengan kata-kata yang baik, pelukan yang tulus, percakapan yang penuh perhatian, dan tindakan kasih yang sederhana.
Itulah dharma keluarga. Itulah tirtha pertama dalam hidup seorang manusia. Dan itulah jalan penyucian yang paling dekat: di rumah kita sendiri.
Om Tat Sat
