Melasti Umat Hindu Kota Bontang Tahun 2025: Pembersihan Menyongsong Kesucian

NM. Adnyani

Bontang, 23 Maret 2025 – Umat Hindu Kota Bontang melaksanakan Upacara Melasti sebagai bagian dari rangkaian menyambut Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1947. Kegiatan yang diselenggarakan pada hari Minggu ini dipusatkan di kawasan konservasi Mangrove Park Saleba, setelah mendapat izin resmi dari pengelola kawasan. Upacara dimulai sejak pukul 06.00 WITA dan berakhir sekitar pukul 11.00 WITA.

Prosesi dimulai dari Pura Buna Agung, tempat umat berkumpul untuk melakukan persiapan awal. Selanjutnya, dengan membawa sarana-sarana upacara suci seperti pratima (arca suci), pralingga, tedung, sesajen, dan tirta (air suci), umat berjalan kaki menuju Mangrove Park Saleba sebagai lokasi pelaksanaan upacara pembersihan.

Dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bahwa upacara Melasti bertujuan untuk “mapeninggalin mala” – meninggalkan segala bentuk kekotoran, penderitaan, dan lara duniawi, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Melasti menjadi momentum penting untuk menyucikan pratima dan seluruh sarana sakral dari pura, agar siap digunakan dalam rangkaian Hari Raya Nyepi. Namun lebih dari itu, Melasti merupakan kesempatan umat untuk melakukan introspeksi dan penyucian batin.

Lontar ini juga menjelaskan bahwa Melasti harus dilakukan di segara (laut) atau sumber air suci lainnya, karena air merupakan lambang tirtha amerta – air kehidupan – yang membersihkan dan menghidupkan kembali jiwa manusia dan alam semesta.

Lebih dalam lagi, Upacara Melasti dapat dimaknai sebagai simbol dari proses spiritual penyucian tubuh halus manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Vṛhaspati Tattwa. Ajaran ini menguraikan bahwa tubuh manusia bukan hanya tersusun atas unsur fisik, tetapi juga terdiri atas jaringan nāḍī (saluran energi) yang menjadi tempat mengalirnya 10 jenis prāṇa, yaitu:

1. Prāṇa – napas masuk, pusat di dada

2. Apāna – pembuangan, pusat di perut bawah

3. Samāna – pencernaan, pusat di pusar

4. Udāna – energi bicara dan ekspresi, di tenggorokan

5. Vyāna – distribusi energi ke seluruh tubuh

6. Nāga – sendawa

7. Kūrma – gerakan kelopak mata

8. Kṛkara – bersin

9. Devadatta – menguap

10. Dhanamjaya – bertahan hingga setelah kematian

Dalam kondisi sehari-hari, nāḍī dan aliran prāṇa ini bisa menjadi “terkotori” oleh pikiran negatif, emosi buruk, atau perilaku yang tidak selaras dengan dharma. Prosesi Melasti, dengan aktivitas jalan kaki ke alam terbuka, pemusatan pikiran dalam puja, serta percikan tirta, sesungguhnya menjadi praktik penyucian dan pelurusan kembali aliran nāḍī dan prāṇa dalam tubuh.

Air laut sebagai simbol amerta dalam ajaran tattwa, menghanyutkan kekotoran bukan hanya di dunia luar, tetapi juga dalam diri manusia. Maka, Melasti menjadi praktik nyata Yoga Bhakti kolektif – di mana tubuh, pikiran, dan jiwa bersatu dalam kesucian bersama alam semesta.

Pelaksanaan Melasti Umat Hindu Kota Bontang tahun 2025 bukan hanya menjadi ritual tahunan menjelang Nyepi, tetapi juga menjadi pengingat bahwa pembersihan diri adalah bagian penting dalam setiap langkah spiritual. Dari laut yang tenang, umat diajak untuk mengenali gelombang dalam dirinya – lalu dengan tulus menyerahkan semuanya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar hidup kembali bersinar dalam kesucian dan keseimbangan.

Om Tat Sat

Meninggalkan Kenyamanan dalam Mencari Ilmu: Sebuah Perjalanan

NM. Adnyani

Dalam perjalanan hidup, ada saat-saat ketika kita harus meninggalkan sesuatu yang kita anggap nyaman demi mengejar sesuatu yang lebih besar. Konsep ini sudah lama tertanam dalam berbagai ajaran kebijaksanaan, termasuk dalam sebuah Subhāṣita Sanskerta yang berbunyi:

“Kāka-dṛṣṭiḥ bakā-dhyānam,

śvāna-nidrā tathāiva ca

Alpāhāram jīrṇavastram,

etad vidyārthilakṣaṇam.”

Dalam barisan kata-kata sederhana ini tersembunyi sebuah filosofi mendalam tentang bagaimana seseorang seharusnya menjalani hidup sebagai pencari ilmu. Seorang vidyārthī—seseorang yang berkomitmen untuk belajar—harus memiliki mata yang tajam seperti gagak, fokus mendalam seperti bangau, tidur ringan seperti anjing, makan secukupnya, dan mengenakan pakaian sederhana. Versi lain dari Subhāṣita ini menyebutkan bahwa seorang pencari ilmu harus berani meninggalkan rumah (gṛha-tyāgī), melepaskan zona nyaman demi mengejar pemahaman yang lebih tinggi.

Gagasan tentang meninggalkan rumah ini bukan sekadar tentang perjalanan fisik, tetapi juga melambangkan keberanian untuk melepaskan hal-hal yang membuat kita merasa aman dan nyaman. Dalam kisah-kisah kuno, para Rsi dan Rsikash meninggalkan kehidupan duniawi untuk hidup di hutan, mengabdikan diri sepenuhnya pada pencarian kebenaran. Namun, dalam dunia modern, meninggalkan rumah tidak selalu berarti berpindah tempat secara fisik. Lebih sering, itu berarti berani menantang batasan-batasan yang telah kita bangun dalam pikiran kita sendiri.

Ada suatu masa ketika saya merasakan sendiri bagaimana ilmu sering kali menuntut pengorbanan. Dalam perjalanan akademik, saya sering kali harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama, melepaskan pola pikir yang sudah terbentuk, bahkan terkadang mengorbankan kenyamanan demi memahami sesuatu yang lebih dalam. Ilmu bukan hanya tentang menghafal teori atau membaca buku, tetapi juga tentang berani keluar dari batasan diri sendiri, menghadapi tantangan baru, dan bersedia berjalan di jalur yang tidak selalu mudah.

Saat kita benar-benar ingin belajar, kita harus siap untuk merasa tidak nyaman. Seperti burung gagak yang selalu waspada terhadap lingkungannya, kita harus memiliki kepekaan untuk menangkap setiap kesempatan belajar yang muncul. Seperti bangau yang berdiri diam dalam waktu yang lama menunggu mangsanya, kita harus mengembangkan kesabaran dan ketekunan. Seperti anjing yang tidur dengan satu telinga tetap terjaga, kita harus tetap sigap terhadap pengetahuan yang datang kapan saja. Dan seperti seorang pertapa yang meninggalkan rumahnya, kita harus bersedia meninggalkan kenyamanan, baik secara fisik maupun mental, agar dapat mencapai pemahaman yang lebih tinggi.

Dalam dunia yang semakin sibuk ini, begitu banyak hal yang dapat mengalihkan perhatian kita dari esensi sejati dalam belajar. Kenyamanan teknologi, hiburan tanpa batas, dan rutinitas sehari-hari sering kali menjadi ‘rumah’ yang sulit kita tinggalkan. Namun, jika kita benar-benar ingin berkembang, kita perlu berani melangkah keluar dari kebiasaan lama dan membuka diri terhadap dunia yang lebih luas.

Barangkali, pada akhirnya, perjalanan dalam mencari ilmu bukan hanya tentang mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk diri kita sendiri dalam prosesnya. Kita bukan hanya belajar tentang dunia, tetapi juga tentang siapa diri kita sebenarnya. Dan untuk itu, kita harus siap meninggalkan apa yang nyaman—karena hanya dengan begitu, kita benar-benar dapat menemukan apa yang bernilai.

Mungkin inilah saatnya bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah cukup berani untuk meninggalkan kenyamanan demi sesuatu yang lebih besar?

#pertimbangan #kuliahS3

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai