NM.Adnyani
Aku berbaring di ranjang rumah sakit, menatap langit-langit putih yang dingin. Ini bukan kali pertama ia menjalani operasi, dan seperti sebelumnya, ia sendirian. Ia datang sendiri, menunggu sendiri, dan akan pulang sendiri. Tidak ada tangan yang menggenggam jemarinya, tidak ada suara yang menenangkannya sebelum anestesi bekerja.
Dulu, di saat-saat seperti ini, ada dorongan dalam dirinya untuk menghubungi seseorang yang bisa mengisi celah sepinya. Karena ia ingin ada seseorang, meski hanya di layar ponsel. Itu caranya menghindari kenyataan bahwa ia sendiri.
Tetapi kali ini berbeda. Ketika dokter bedah berkata bahwa jantungku berdetak stabil di angka 50, aku terkejut. Aku hampir bertanya ulang, seolah tak percaya bahwa tubuhnya bisa seimbang seperti itu. Seumur hidup, aku selalu merasa gelisah, selalu merasa dikejar-kejar oleh kesendirian. Namun tubuhku berkata lain—jantung tetap tenang, meski aku sendiri. Refleksi itu datang tiba-tiba. Mungkin selama ini pikirannya yang menolak sepi, tetapi tubuh sudah lebih dulu menerimanya.
Ia mulai mengingat bagaimana dulu setiap detik kesendirian terasa seperti beban. Saat pulang kerja dan mendapati rumah kosong, aku akan segera mencari seseorang untuk diajak berbicara, meski hanya basa-basi. Saat sakit, aku ingin ada seseorang yang sekadar duduk di sampingku. Saat menjalani operasi sebelumnya, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang—kehadiran orang lain, perhatian, atau sekadar pesan singkat yang menunjukkan bahwa seseorang memikirkanku.
Tetapi sekarang, aku hanya diam. Aku tidak menghubungi siapa pun. Tidak ada pesan yang ku kirim, tidak ada panggilan yang ku buat. Sebagai gantinya, aku memilih menonton drama di ponselku, membiarkan diriku terhanyut dalam cerita yang tidak menuntut apa-apa.
Lalu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya terjadi—aku bermimpi saat dibius total. Tiga kali operasi, dan baru kali ini aku bermimpi. Aku tidak mengingat detailnya, hanya kesan yang tertinggal. Kuat, mendalam, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh alam bawah sadar.
Ketika aku terbangun, tidak ada ketakutan, tidak ada kesepian yang menghimpit. Hanya perasaan baru yang perlahan mengakar: aku menerima ini. Aku menerima sepi.
Bukan karena aku menyerah, tetapi karena aku akhirnya memahami bahwa sepi bukan musuh. Sepi adalah ruang yang selama ini aku hindari, tetapi di sanalah aku akhirnya bertemu dengan diri sendiri.
Aku menyadari sesuatu yang lebih besar—kesendirian bisa menjadi kebebasan.
Bebas dari perasaan menuntut orang lain untuk selalu ada. Bebas dari perasaan takut menghadapi diri sendiri. Bebas dari keterikatan pada sesuatu yang tidak lagi dibutuhkan.
Aku tidak tahu apa langkah berikutnya, dan itu tidak masalah. Yang aku tahu, hari ini aku telah berubah. Dan perubahan itu adalah kebebasan.









