Kesaksian Bisu Si Kayu Batu

Arif Supriyadi

Aku, di masa itu, biasa orang menjulukiku “Si Kayu Batu” Ukuran tubuh dan kekokohanku lah pencetus nama itu. Berkat besar dan menjulangnya tinggiku, nelayan dan para awak kapal di masa awal tumbuhnya perkampungan Bontang menjadikanku sebagai penanda arah perjalanan mereka di lautan. Mudah memang melihatku dari kejauhan, yang mengisyaratkan bahwa mereka telah mendekati pesisir Bontang yang sungguh kaya akan sumber daya ikan. Aku tidak mengada-ngada tentang kekayaan laut ini. Coba bayangkan, nelayan Bontang saat itu seringkali mendapati belat (sejenis perangkap ikan terbuat dari rangkaian kayu yang dipasang di jalur migrasi ikan) mereka jebol karena tidak sanggup menampung banyaknya ikan yang terjebak masuk. Saking melimpahnya ikan-ikan di pinggiran laut Bontang kala itu, berbekal serok saja sudah cukup untuk menangkapi ikan. Pun demikian, nama sejumlah wilayah pesisir di perkampungan Bontang juga menggambarkan limpahan kekayaan ini. Selambai contohnya, wilayah perkampungan ini sering disambangi seorang Nelayan Mandar bernama “Si Lambai” yang selalu panen ikan hasil menjaring di sebuah teluk kecil yang berada di sana. Nama “Si Lambai” akhirnya diabadikan sebagai nama perkampungan di sekitar tempat Nelayan Mandar itu menjaring ikan.

Sejujurnya, Aku merasa betul-betul beruntung memiliki tubuh yang besar dan tinggi, sehingga bukan hanya bisa melihat Pesisir Bontang yang kaya akan ikan, tetapi juga menyaksikan kenangan kekayaan daratan Bontang masa lalu. Aku menyebut daratan Bontang saat itu sebagai etalase koleksi kekayaan yang luar biasa. Di sisi utara penglihatanku misalnya, Aku biasa menyaksikan orang-orang di sana beraktivitas menghanyutkan batang-batang kayu besar (log) ke tengah lautan. Entah dibawa ke mana kayu-kayu itu. Ribuan log ini pula yang nampak hilir mudik menghidupi perkampungan kecil di sana. Menariknya, karena log-log itu dimiliki seorang Tuan Jepang yang seringkali datang ke lokasi penghanyutan, perkampungan itu kemudian dinamai warga setempat sebagai Loktuan, sebuah plesetan dari kata “log milik tuan”.

Dari utara yang bergelimang kayu, Aku sering mengalihkan pandanganku ke arah barat. Di titik mata angin ini terhampar luas ribuan pohon aren dengan tinggi sedang dan berbuah matang. Bau manis getah aren kerap menggoda arah penglihatanku ke sana. Warga yang hidup di sekitar hamparan pohon aren biasa menyadap air aren untuk dijadikan gula sebagai pekerjaan yang mereka lakoni sehari-hari. Nampaknya, harum manis getah aren menginspirasi warga penyadap aren menamai lokasi mereka tinggal sebagai Perkampungan Gunung Sari. Nama yang pantas, pikirku hingga sekarang.

Dari pesisir timur yang berlimpah ikan, dari utara yang kaya akan kayu, serta dari barat yang manis oleh mengalirnya getah aren, saatnya bercerita tentang wilayah selatan Bontang tempat di mana Aku bertumbuh. Wilayah ini, sesungguhnya cukup bergantung padaku. Di mana di bawah bayang-bayangku yang teduh, nelayan membuat permukiman kecil yang lambat laun perkampungan itu disebut seperti namaku: Kampung Kayu Batu. Dari kampung ini pula, bertumbuh pemukiman-pemukiman pesisir di wilayah Selatan Bontang yang di masa itu saling terpisah oleh lebatnya hutan. Rimbun hutan di sekitarku bukannyatanpa cerita. Hutan ini sungguh diberkahi Tuhan dengan gelimang buah-buahan yang melimpah. Lebih-lebih pada musim buah, para pemetik buah sampai kewalahan mengambil ribuan wanyi, dopar, elai, juga jambu yang berjatuhan. Saking banyaknya, buah-buahan itu akhirnya dibiarkan berserak begitu saja. Oleh warga Suku Mamuju yang biasa hilir mudik di dalam areal hutan, wilayah itu dijuluki Mara’bas yang memiliki arti “berguguran”. Mara’bas ini pula yang kemudian menjadi cikal bakal penyebutan Berbas sebagai salah satu tempat tumbuhnya buah-buahan yang berlimpah ini.

Cerita tentang gelimang ikan di lautan, limpahan kayu di Loktuan, legit aren di Gunung Sari serta lebat buah di Berbas nyatanya tidak berlangsung lama. Bontang yang terus tumbuh dan berkembang mendesak alam hingga berujung pada pengrusakan. Di laut, nelayan yang tak puas dengan hanya menjaring dan memancing, mulai menggunakan alat-alat/bahan berbahaya untuk menangguk ikan sebanyak-banyaknya. Penggunaan bom, juga racun ikan perlahan mulai merusak karang dan ekosistem lautan. Ikan-ikan mulai berkurang dan kekayaan lautan itu kini tinggal kenangan. Nasib wilayah daratan tak begitu jauh berbeda, bertumbuhnya pemukiman di wilayah hutan terus menggerus pohon-pohon aren di Kampung Gunung Sari, Kayu juga makin habis di Loktuan hingga makin sempitnya luasan hutan buah di areal Berbas. Hingga tiba suatu hari, tubuhku yang besar dan kekar bergoyang oleh pukulan kampak para penebang kayu. Aku sungguh kaget, karena selama ini keberadaanku dianggap sakral dan keramat oleh penduduk yang selama ini bernaung di bawahku. Mungkin, keinginan mereka membangun pemukiman yang lebih luas terganggu oleh tubuh raksasaku. Hingga kemudian, robohlah Aku sebagai simbol keagungan alam Bontang di masa lampau. Sisa tubuhku turut dibakar bersamaan dengan hilangnya memori-memori Kekayaan Bontang di masa itu. Walau demikian, Aku masih merasa sangat beruntung karena warga setempat masih membiarkan namaku tercatat sebagai nama dusun tempat mereka tinggal. Ya, Dusun Kayu Batu.

Namun sayang seribu sayang, semua itu juga tak berlangsung lama. Di masa kepemimpinan seorang petinggi dusun, nama Kayu Batu diusulkan diubah menjadi nama lain. Sang petinggi dusun menganggap bahwa selama ini warga Dusun Kayu Batu cenderung berwatak keras kepala dan susah diajak bicara seperti personifikasi yang melekat pada namaku: kayu dan batu. Dengan perubahan nama, Beliau berharap adanya perubahan karakter pada warga lokal yang bermukim di sekitar Dusun Kayu Batu di masa itu. Hingga kemudian, usulan tersebut disetujui oleh petinggi kampung setempat dan mulailah daerah itu beralih nama menjadi Dusun Pelabuhan di bawah pemerintahan Kampung Tanjung Laut. Dengan perubahan nama ini, hilanglah sudah keberadaanku dalam khazanah pengetahuan warga Bontang saat ini. Nama besarku dulu, hanya diingat dan diketahui segelintir orang. Ya, hanya segelintir yang mengingatnya, seperti kesaksian bisuku akan kekayaan alam hutan juga kekayaan lautan Bontang yang luar biasa di masa lalu. Bagiku, Bontang adalah etalase keagungan Tuhan yang memberi wilayah ini beragam rejeki hingga sekarang. Karena itulah, Aku berpesan kepada generasi penerus Bontang agar menjaga dan terus memelihara Bontang, bukan hanya karena kekayaannya tetapi juga karena rasa memiliki Kita terhadap Kota yang luar biasa ini.

Kisah Cinta Aruna Daksina

NM. Adnyani

Aruna Daksina

Penafian: tulisan Ini terinspirasi dari Karya Tulis Bapak Arif Supriyadi yang berjudul ‘Kesaksian Bisu Kayu Batu’

Aku, yang kini hanya tersisa dalam ingatan segelintir orang, dahulu menjulang gagah sebagai penjaga batas antara daratan dan lautan. Orang-orang menyebutku Aruna Daksina—cahaya fajar di selatan. Namaku diberikan bukan tanpa alasan, sebab keberadaanku kala itu adalah penanda bagi para pelaut, simbol harapan bagi mereka yang pulang dari samudra, serta saksi bisu bagi kejayaan Bontang yang pernah begitu kaya akan kehidupan.

Dari puncakku yang menjulang, aku menyaksikan lautan yang dahulu begitu murah hati. Nelayan yang melaut di perairan Bontang pulang dengan kapal penuh muatan. Belat yang mereka pasang sering jebol, tak mampu menampung limpahan ikan yang berjejal masuk. Sungguh, kala itu lautan adalah ibu yang dermawan, memberi lebih dari yang diminta. Bahkan hanya dengan serok, nelayan bisa menangkap ikan dalam jumlah melimpah. Keberkahan ini bukan hanya milik para nelayan, tetapi juga terpahat dalam nama-nama tempat di sekitarku. Selambai, misalnya, berasal dari seorang nelayan Mandar bernama Si Lambai yang selalu menjaring ikan di teluk kecil itu. Nama yang sederhana, namun mengandung jejak sejarah yang dalam.

Namun, aku bukan hanya saksi bagi kemakmuran laut. Aku juga melihat bagaimana daratan Bontang menjadi etalase kekayaan yang tak kalah hebat. Di utara, aku melihat batang-batang kayu besar dihanyutkan ke lautan—kayu-kayu milik seorang tuan dari negeri seberang. Penduduk setempat pun menyebut tempat itu Loktuan, gabungan dari log dan tuan. Ke barat, hamparan pohon aren berdiri kokoh, getahnya harum semanis gula yang dihasilkan oleh tangan-tangan terampil warga Gunung Sari. Sedangkan ke selatan, tempat akarku menjejak tanah, berdirilah Kampung Kayu Batu, tempat para nelayan berteduh di bawah bayang-bayangku.

Musim berganti, peradaban berkembang, dan manusia mulai lupa pada harmoni yang pernah terjalin dengan alam. Para nelayan yang dahulu hanya menjaring dan memancing, kini mulai menggunakan Teknologi modern untuk menangkap ikan. Terumbu karang mulai tergerus, ekosistem laut terguncang, dan perlahan-lahan ikan-ikan menghilang. Tak lama berselang, daratan pun menghadapi nasib serupa. Hutan-hutan tempat aku dan sesamaku berdiri ditebang satu per satu. Kayu aren yang dahulu memberi kehidupan bagi Gunung Sari perlahan habis. Pohon-pohon besar di Loktuan tak lagi terlihat. Buah-buahan yang dahulu melimpah di Berbas, kini tak lagi jatuh berguguran, seperti kehilangan kemakmurannya.

Lalu tibalah hari yang tak pernah kuduga. Aku, Aruna Daksina, yang selama ini berdiri tegak sebagai simbol keagungan alam, akhirnya tumbang oleh tangan manusia. Kampak para penebang menghantam batangku yang kokoh. Aku tak mengira bahwa perlindungan yang selama ini kuberikan akan berakhir dengan pengkhianatan. Selama berabad-abad, mereka berteduh di bawah rantingku, menjadikanku penanda arah, bahkan menganggapku keramat. Namun kini, aku tak lebih dari seonggok kayu yang akan dilenyapkan. Sisa tubuhku dibakar, abu dan asapku mengepul ke langit, membawa serta kenangan tentang masa ketika Bontang adalah hamparan berkah.

Namun, meski ragaku telah tiada, namaku masih tersisa. Warga tetap mengenang tanah tempatku tumbuh sebagai Dusun Kayu Batu, sebuah penghormatan bagi keberadaanku. Sayangnya, penghormatan itu pun tak bertahan lama. Seorang petinggi dusun mengusulkan perubahan nama, berharap agar watak keras kepala yang ia yakini melekat pada warganya turut luruh bersama hilangnya nama lamaku. Dusun Kayu Batu pun dihapus, digantikan oleh nama baru: Pelabuhan.

Kini, hanya segelintir orang yang masih mengingatku. Aku, yang pernah menjadi mercusuar alami bagi para pelaut. Aku, yang pernah menjadi saksi bagi kemakmuran Bontang yang tiada tara. Namun, aku tidak menaruh dendam. Aku hanya ingin berpesan kepada mereka yang kini tinggal di tanah ini: Jagalah Bontang, bukan hanya karena kekayaan yang pernah ia miliki, tetapi karena tanah ini adalah bagian dari jiwa kalian. Jangan biarkan sejarahku hanya menjadi debu dalam ingatan, sebab tanpa ingatan, manusia akan kehilangan arah—seperti nelayan yang kehilangan bintang di langit malam.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai