Bersikap Manusiawi
NM. Adnyani

Setelah merasa cukup mampu keluar dari tarik ulur perasaan, Prema kini mulai berani bersikap cuek dan acuh. Ia tak lagi berusaha memahami yang tak bisa dipahami, tak lagi menunggu yang tak akan kembali. Ia mengeraskan hatinya, membangun benteng di sekelilingnya, bukan untuk menolak cinta, tetapi untuk menjaga dirinya agar tak kembali hancur.
Pertanyaan-pertanyaan tajam masih tetap ada, menikam kesadarannya seperti duri-duri halus yang menyusup ke dalam kulit. Setiap kali ia diserang dengan kata-kata yang membangkitkan luka lama, ia hanya menjawab dengan mantra—sebaris kalimat yang selalu diucapkan dengan tegas, bukan untuk meyakinkan orang lain, tetapi untuk mengingatkan dirinya sendiri: Aku baik-baik saja. Ini bukan akhir, hanya bagian dari perjalanan.
Hari itu, Prema melihat bayangannya di cermin. Matanya sembab, kelopak matanya membengkak. Ia terlalu banyak menangis. Air mata yang seharusnya telah mengering justru terus mengalir, seolah ada sumber yang tak pernah habis di dalam dadanya.
“Kenapa nangis terus?” tanyanya pada bayangan di cermin.
Bayangan itu menatapnya balik, sorot matanya penuh pemahaman, seakan-akan ia bukan sekadar pantulan diri, melainkan cerminan luka yang tak terucapkan.
“Aku hanya bersikap manusiawi,” jawabnya lirih.
Prema menarik napas panjang. Ya, ini bagian dari menjadi manusia—merasakan, jatuh, terluka, lalu mencoba bangkit dengan bekas luka yang masih perih. Proses menerima dan melepaskan masih terasa berat, seperti menapaki jalan berbatu dengan kaki telanjang. Kadang ia berpikir sudah cukup kuat, tapi di saat-saat tertentu, hatinya kembali rapuh.
Cahaya hati dan panah cinta yang begitu murni dan tulus, patah oleh arogansi pengkhianatan. Tapi benarkah yang murni dan tulus itu bisa patah? Bukankah ketulusan seharusnya tak tergoyahkan, tak terpecahkan oleh kekejaman dunia?
Atau mungkin, yang patah bukanlah ketulusan itu sendiri, melainkan harapan yang menggantung di atasnya.
Prema tahu, cinta yang sejati tidak akan pernah benar-benar mati. Mungkin ia terkubur, mungkin ia tertidur, tapi ia tetap ada, seperti api kecil yang tersisa di balik abu. Dan pada akhirnya, yang perlu ia lakukan bukanlah menghapus rasa itu, melainkan mengubahnya—dari luka menjadi kebijaksanaan, dari kehilangan menjadi pemahaman, dari air mata menjadi cahaya yang menerangi jalannya sendiri.
Sebab bersikap manusiawi bukanlah kelemahan. Itu adalah keberanian.
