Katha Upanishad (1.1 – 2.3)

Bagian 1: Yajña dan Pertanyaan Seorang Anak
Di sebuah desa yang sunyi, ketika kabut pagi masih bergelayut di antara ladang dan hutan, seorang brahmana terkemuka bernama Vajasravas tengah bersiap melaksanakan yajña besar. Ia ingin mempersembahkan hartanya demi mencapai kebajikan dan surga.
Di halaman rumahnya yang luas, sapi-sapi tua berjalan perlahan. Tubuh mereka kurus, gigi mereka ompong, dan tak lagi bisa menghasilkan susu. Tapi sapi-sapi itulah yang akan ia persembahkan dalam ritual suci.
Anaknya, Nachiketa, remaja cerdas dan jujur, menyaksikan hal itu dari kejauhan. Hatinya terusik. Ia tahu, yajña bukan hanya soal ritual, tapi soal ketulusan dan kejujuran dalam memberi.
Ia mendekati ayahnya perlahan.
“Ayah, apakah sapi-sapi tua ini akan benar-benar membawa engkau ke surga?”
Ayahnya hanya melirik tajam, menahan kesal.
“Ayah,” lanjut Nachiketa lagi, “kepada siapa Ayah akan menyerahkan aku jika semua sudah diberikan?”
“Diam, anak kecil! Jangan banyak bertanya!”
Namun Nachiketa tetap berdiri di sana, tak gentar, mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Akhirnya sang ayah, terbakar oleh rasa malu dan emosi, menjawab:
“Aku menyerahkanmu kepada Yama, Dewa Kematian!”
Hening. Udara seperti membeku. Nachiketa tidak menangis. Ia justru membungkuk hormat kepada ayahnya.
“Jika itu kehendak Ayah, aku akan pergi.”
Bagian 2: Langkah Kecil Menuju Dunia Kematian
Tanpa air mata, tanpa dendam, Nachiketa berjalan sendirian menuju gerbang dunia kematian. Jalan yang dilaluinya sunyi. Ia tidak tahu bagaimana caranya bertemu Dewa Yama, tapi keyakinan dalam hatinya menjadi cahaya penuntun.
Setelah menyeberangi lembah dan hutan metaforis, ia sampai di depan gerbang kerajaan Yama. Gerbang besar dari batu hitam berdiri megah, dijaga, suasana hening dan aura gaib. Tapi Yama sedang tak berada di istananya.
Nachiketa duduk di depan pintu. Hari berganti malam. Malam berganti pagi. Tiga hari dan tiga malam ia menunggu. Tidak makan. Tidak minum. Tapi tidak juga berkeluh kesah.
Bagian 3: Yama dan Tiga Permintaan
Saat Yama kembali, para pelayan memberitahu bahwa seorang anak suci telah menanti di depan pintu selama tiga hari.
Yama segera keluar. Ia menatap Nachiketa dengan takjub—seorang anak muda duduk tenang dalam cahaya batinnya sendiri.
“Wahai anak suci,” kata Yama, “karena engkau telah menunggu selama tiga malam tanpa disambut, aku merasa bersalah. Dalam tradisi dharma, tamu adalah seperti dewa. Maka, aku berikan tiga anugerah. Mintalah tiga permintaan.”
Nachiketa membungkuk hormat.
✨ Permintaan Pertama: Cinta Keluarga
“Semoga saat aku kembali ke dunia, Ayahku tak lagi marah, dan ia menerimaku kembali dengan penuh kasih.”
Yama mengangguk.
“Ayahmu akan tidur dengan tenang malam ini. Saat engkau kembali, ia akan memelukmu dengan cinta.”
🔥 Permintaan Kedua: Api Surga
“Ajarkan kepadaku rahasia api suci (agni vidya) yang bisa membawa jiwa menuju surga.”
Yama tersenyum.
“Permintaanmu tidak egois. Baik, akan kuajarkan.”
Yama lalu mengajarkan rahasia api pengorbanan, simbol energi ilahi yang membimbing jiwa menuju moksha. Api itu diberi nama Nachiketa Agni, sebagai penghormatan.
❓ Permintaan Ketiga: Misteri Kematian
Nachiketa menatap mata Dewa Kematian.
“Aku ingin tahu: apa yang terjadi setelah kematian? Apakah jiwa tetap ada, atau lenyap begitu saja?”
Yama terdiam.
“Bahkan para dewa pun tak paham soal ini. Pertanyaan ini berat, terlalu dalam. Jangan minta ini, Nachiketa. Minta yang lain saja.”
Tapi Nachiketa tidak gentar.
“Engkau bisa memberiku kerajaan, kuda, gajah, emas, umur panjang—tapi semua itu akan berlalu. Apa artinya semua itu, jika aku tetap tak tahu kebenaran sejati?”
Yama menatapnya dalam-dalam. Ia melihat tidak hanya keberanian dalam diri anak itu, tetapi juga ketulusan spiritual.
🌌 Bagian 4: Pengetahuan Tertinggi
Yama akhirnya membuka rahasia Atman:
“Atman adalah jiwa sejati dalam dirimu. Ia tidak lahir, tidak mati, tidak bisa dibakar oleh api, tidak bisa dibasahi oleh air. Ia tidak pernah tua, tidak pernah hancur.”
“Ia adalah Brahman—hakikat segala sesuatu. Mengetahui Atman adalah bebas dari kelahiran dan kematian.”
Nachiketa mendengarkan dengan hati terbuka. Ia menyerap pengetahuan itu seperti bumi menyerap hujan. Ia telah mendapat apa yang bahkan para pertapa pun belum tentu bisa capai.
Yama tersenyum.
“Engkau telah memilih jalan kebenaran, bukan kesenangan. Maka, engkau akan mencapai kemuliaan abadi.”
🌺 Bagian 5: Kembali sebagai Jiwa Baru
Nachiketa pun kembali ke dunia. Ayahnya memeluknya dengan penuh cinta dan penyesalan. Tapi Nachiketa telah berubah. Ia bukan lagi anak biasa. Ia telah menjadi penyala cahaya pengetahuan, pembawa pesan tentang keberanian spiritual dan pencarian kebenaran.
🪞 Renungan untukmu, Pelajar Hindu
✨ Berani Bertanya, Berani Mencari
Kadang, pertanyaan kita dianggap terlalu sulit atau tak pantas. Tapi, seperti Nachiketa, keberanian untuk bertanya bisa membuka pintu kebenaran.
✨ Jangan Mudah Tergoda Dunia
Harta, pujian, kekuasaan—semua bisa memesona. Tapi hanya pengetahuan sejati yang membuat jiwa bebas.
✨ Jadilah Siswa Abadi
Belajarlah bukan hanya dari buku, tapi dari hidup. Setiap pilihan yang kita ambil adalah bagian dari perjalanan menuju dharma.
🪞 Refleksi untuk Pelajar
1. Apakah kamu pernah mempertanyakan kebenaran di sekitarmu, walau orang dewasa berkata “diam saja”?
2. Apa makna kesenangan dunia bagimu—dan apa yang kamu anggap sebagai “kebenaran”?
3. Nachiketa menolak kekayaan demi jawaban yang lebih tinggi. Apakah kamu siap menolak sesuatu yang menyenangkan demi sesuatu yang lebih bermakna?
4. Atman tidak bisa mati. Apa makna itu bagimu sebagai pelajar Hindu di zaman modern?


